Rahasia Mengapa Allah Tempatkan Ulama di Posisi Paling Strategis – Ini 9 Peran yang Tidak Banyak Orang Tahu!

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, ARTIKEL –Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa dalam setiap peradaban Islam yang gemilang, selalu ada sosok ulama yang berdiri tegak sebagai pilar utama? Mengapa Rasulullah SAW menyebut mereka sebagai “pewaris para nabi” padahal mereka tidak mewarisi harta benda?

Jawabannya tersembunyi dalam empat posisi strategis yang ditetapkan Allah SWT dan lima tugas mulia yang diemban para ulama—sebuah amanah yang jika dipahami dengan benar, akan mengubah cara kita memandang peran mereka dalam kehidupan kita sehari-hari.

Read More

Empat Garda Terdepan yang Dipercayakan Allah kepada Ulama

Dalam dokumen peresmian kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, terungkap kerangka komprehensif tentang posisi ulama yang seringkali luput dari perhatian kita.

1. Dakwah: Menyebarkan Kebaikan dengan Cara Terbaik

Allah berfirman dalam Surah Fussilat ayat 33: “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang Muslim.’”

Dakwah bukan sekadar ceramah di mimbar. Ia adalah seni mengajak manusia kepada kebaikan dengan cara yang menyentuh hati, bukan menghakimi. Ulama berperan sebagai jembatan antara kebenaran ilahi dengan realitas kehidupan manusia.

2. Amar Ma’ruf Nahy Mungkar: Kompas Moral Masyarakat

Surah Ali Imran ayat 110 menegaskan bahwa umat terbaik adalah mereka yang menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Di era informasi yang penuh dengan grey area etika, peran ulama sebagai kompas moral menjadi semakin krusial.

Mereka tidak hanya menunjukkan mana yang benar dan salah, tetapi juga mengajarkan bagaimana kita bisa tetap teguh dalam kebaikan di tengah arus deras godaan dunia.

3. Tazkiyyatul Qulub: Penyucian Jiwa yang Terlupakan

Dalam Surah Fathir ayat 28, Allah menyatakan: *”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.”*

Ini bukan tentang ketakutan biasa, melainkan tentang kesadaran mendalam akan kebesaran Allah yang melahirkan kerendahan hati dan kesucian jiwa. Ulama bertugas tidak hanya mengajarkan ritual ibadah, tetapi juga membimbing proses pembersihan hati dari penyakit-penyakit spiritual seperti riya, hasad, dan takabbur.

4. Saksi Ketauhidan: Berdiri Bersama Malaikat

Surah Ali Imran ayat 18 menempatkan ulama dalam posisi yang luar biasa: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia; yang menegakkan keadilan, para malaikat dan orang-orang yang berilmu…”

Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kesaksian ulama disejajarkan dengan kesaksian Allah dan malaikat—sebuah kehormatan yang sekaligus merupakan tanggung jawab besar.

Lima Tugas Pewaris Nabi yang Menggetarkan Jiwa

Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah menegaskan: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang berlimpah.”

1. Pembawa Risalah: Estafet Kebenaran yang Tidak Boleh Terputus

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW memperingatkan: *”Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari dada hamba, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga apabila tidak ada lagi ulama, manusia mengangkat pemimpin-pemimpin jahil, lalu mereka ditanya dan mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.”

Ini adalah peringatan keras tentang bahaya vakum kepemimpinan spiritual. Ketika ulama yang berilmu tiada, muncullah figur-figur yang berbicara tanpa dasar ilmu yang kuat, menyebarkan kebingungan dan kesesatan.

2. Penjaga Risalah: Benteng Terakhir Kemurnian Ajaran

Imam Ahmad meriwayatkan perkataan Ibrahim bin Abdurrahman Al-Udzri: “Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi, yang menolak darinya distorsi orang-orang bodoh, pengklaiman orang-orang bathil, dan ta’wil orang-orang yang berlebihan.”

Di zaman digital ini, ketika setiap orang bisa menjadi “ustadz” dengan modal smartphone dan media sosial, peran ulama sebagai penjaga kemurnian ajaran menjadi sangat vital. Mereka adalah filter yang memisahkan antara Islam yang otentik dengan interpretasi yang menyimpang.

3. Qudwah: Cermin yang Harus Bersih

Salah satu hadis paling menggetarkan tentang tanggung jawab ulama adalah: “Perumpamaan orang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia tetapi dia tidak mengamalkannya adalah seperti lampu yang menerangi orang lain namun membakar dirinya sendiri.”

Hadis ini adalah tamparan keras bagi siapa saja yang mengaku sebagai pembawa kebaikan. Keteladanan bukan tentang kesempurnaan, tetapi tentang konsistensi antara ucapan dan perbuatan. Umar bin Abdul Aziz menggambarkan para ulama dan da’i sebagai teladan umat ini dengan kata-kata indah: “Mereka berhenti (waqafu) pada ilmu, dan dengan pandangan yang tajam mereka menahan diri (kaffu).”

4. Riasatul Ummah: Kepemimpinan yang Lemah Lembut namun Tegas

Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang beriman itu lemah lembut dan mudah dipimpin. Mereka seperti unta yang jinak, jika dituntun, ia mengikuti, jika digiring, ia tergiring, bahkan jika dibaringkan di atas batu, ia mau.”

Hadis ini mengajarkan bahwa kepemimpinan ulama bukanlah tentang kekuasaan yang memaksa, tetapi tentang kelembutan yang mengayomi. Mereka memimpin dengan memberi teladan, bukan dengan ancaman.

5. Saksi atas Manusia: Tanggung Jawab di Hari Kiamat

Hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah menggambarkan adegan yang menggugah di hari kiamat: Seorang nabi datang dengan hanya dua pengikut, bahkan ada yang datang sendirian. Ketika umatnya menyangkal bahwa mereka pernah diajak, Allah akan memanggil umat Muhammad sebagai saksi.

Mereka berkata: “Nabi kami mengabarkan kepada kami bahwa para rasul telah menyampaikan, dan kami membenarkannya.” Inilah makna dari Surah Al-Baqarah ayat 143 tentang umat yang wasath (adil) sebagai saksi atas manusia.

Pesan Persatuan: Ketika Hati Ulama Bersatu, Umat Pun Kuat

Ketum MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar menekankan pentingnya persatuan dengan mengutip Surah Al-Anfal ayat 63: “Dan Dia (Allah) mempersatukan hati mereka. Sekiranya kamu membelanjakan semua yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.”

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan bijak: “Hubungan kekerabatan bisa terputus, nikmat bisa dikufuri, tetapi jika Allah telah mempersatukan hati, tidak ada yang bisa memisahkannya.”

Ini adalah pengingat bahwa persatuan sejati bukan dibangun atas kepentingan duniawi, tetapi atas fondasi keimanan yang kuat. Ketika para ulama bersatu dalam kebenaran, tidak ada kekuatan yang mampu memecah belah umat.

Peringatan Keras: Jangan Sampai Terlambat

Allah memperingatkan dalam Surah Az-Zukhruf ayat 67: *”Teman-teman akrab pada hari itu sebagian mereka menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”

Ini adalah peringatan agar kita tidak terjebak dalam pertemanan atau persekutuan yang hanya didasarkan pada kepentingan duniawi. Apa yang tampak kokoh di dunia ini bisa jadi akan terungkap sebagai ilusi di akhirat kelak.

Menghargai Ulama Berarti Menghargai Warisan Kenabian

Peran ulama sebagai pewaris nabi bukanlah tentang gelar atau kedudukan sosial. Ia adalah tentang tanggung jawab besar yang diemban untuk menjaga, menyampaikan, dan mengamalkan ajaran Islam yang murni.

Bagi kita sebagai umat, menghargai ulama bukan berarti memuja mereka, tetapi memahami peran krusial mereka dalam membimbing kita menuju jalan yang benar. Kritik yang konstruktif diperbolehkan, tetapi penghinaan dan pelecehan terhadap mereka adalah bentuk ketidaksadaran akan besarnya amanah yang mereka pikul.

Dan yang paling penting, kita semua memiliki peran untuk mendukung mereka—bukan dengan sikap pasif, tetapi dengan aktif menjaga persatuan, menuntut ilmu, dan menjadi bagian dari generasi yang melanjutkan estafet dakwah ini.

Sebagaimana ditekankan dalam dokumen MUI Sumbar: Hati adalah tempat persatuan atau perpecahan. Ketika hati bersatu, seluruh anggota tubuh dan perbuatan akan mengikuti. Allah mampu menyatukan hati-hati yang tampak mustahil untuk bersatu—karena memang hanya Dia yang memiliki kekuasaan atas segala sesuatu.

Artikel ini disarikan dari dokumen pidato Buya Gusrizal Gazahar ketika Peresmian Kantor MUI Sumatera Barat sebagai refleksi atas peran strategis ulama dalam kehidupan umat Islam di Indonesia dan dunia.

Related posts