MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA – Menjelang peringatan Hari Anak Nasional (HAN) ke-41, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, mempertanyakan kembali kapasitas negara dalam menjamin perlindungan generasi mudanya di tengah era digital dan krisis sosial yang makin kompleks.
“Apakah negara masih bisa melindungi generasinya? Pertanyaan ini menggema di benak kami,” ujar Jasra, menggarisbawahi kekhawatiran yang kian menguat di kalangan aktivis, pengambil kebijakan, dan masyarakat sipil.
Indonesia dinilai memiliki kerangka hukum perlindungan anak yang relatif lengkap. Namun, dalam praktiknya, konsistensi penegakan hukum dan integrasi kebijakan pada tingkat daerah masih menjadi tantangan serius.
Menurut KPAI, sebagian besar laporan pengaduan yang diterima masih terfokus pada kluster keluarga dan pengasuhan alternatif, menandakan lemahnya fondasi perlindungan anak sejak fase kehidupan awal.
“Negara belum kemana-mana,” kata Jasra, merujuk pada kegagalan kolektif untuk keluar dari masalah mendasar dalam lingkungan keluarga, meskipun intervensi program telah diluncurkan.
Ia menambahkan bahwa 4 juta bayi lahir setiap tahun, memperbesar tekanan terhadap sistem perlindungan yang ada.
Jasra menyoroti ancaman algoritma digital yang menjerat anak-anak ke dalam ruang simulakra yang jauh dari realitas. Pemerintah disebut telah menanggapi dengan sejumlah inisiatif, termasuk pemeriksaan kesehatan jiwa anak, program sekolah rakyat untuk mengatasi kemiskinan ekstrem, hingga pengiriman relawan mengajar ke wilayah terpencil.
Namun, tantangan baru terus bermunculan, termasuk upaya industri untuk menyamarkan produk berisiko bagi anak melalui strategi pemasaran manipulatif.
“Sebuah tontonan dari Tiongkok tentang ribuan anak bergerak serentak dalam latihan fisik kini menjadi simbol kekaguman publik Indonesia. Apakah kita bisa melakukannya?” tanya Jasra.
Ia juga menyinggung tentang gagalnya sebagian orang tua untuk membatasi ketergantungan anak terhadap gawai, hingga muncul keinginan untuk melakukan “gerakan barak” atau pendekatan semi-militeristik dalam mendisiplinkan anak dari ruang digitalnya.
Jasra menyampaikan kecemburuan sebagian orang tua terhadap sistem pendidikan di negara maju yang menekankan penghargaan terhadap proses belajar dan potensi unik anak. “Namun bagi banyak keluarga Indonesia, model pendidikan seperti itu hanya mimpi mahal,” tambahnya.
Ironi terjadi ketika acara selebratif HAN berjalan meriah, namun tak sanggup mengubah realitas bahwa banyak anak Indonesia hidup dalam keterancaman permanen akibat eksploitasi, kekerasan, bahkan sindikat perdagangan bayi.
Meski begitu, KPAI menolak untuk larut dalam pesimisme. Jasra menyebut bahwa anak-anak Indonesia tetap menunjukkan potensi luar biasa, dan banyak pihak di masyarakat masih bekerja secara heroik dalam melindungi anak-anak.
“Bukan kegagalan, ini ajakan untuk lebih berani memilih yang terbaik bagi anak,” tegasnya.
Upaya penegakan hukum melalui Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dinilai mengalami kemajuan progresif, ditandai dengan kebijakan remisi bagi 1.272 anak binaan sebagai bagian dari pendekatan restorative justice.
Lingkungan dan Krisis Iklim sebagai Konteks Perlindungan
KPAI menambahkan bahwa krisis iklim kini menjadi elemen penting dalam memperburuk kondisi psikososial anak. Cuaca ekstrem dan kerusakan lingkungan menimbulkan efek psikologis jangka panjang dan menumbuhkan generasi yang lebih reaktif serta rentan terhadap perilaku berisiko.
“Membangun kesadaran akan potensi alam dan pengarusutamaan lingkungan menjadi fondasi baru perlindungan anak ke depan,” sebut Jasra.
KPAI juga mendorong pengesahan RUU Pengasuhan Anak sebagai pelengkap UU Perlindungan Anak. Poin krusialnya adalah peran aktif RT-RW dalam memantau anak sejak dalam kandungan, untuk mencegah potensi lepasnya anak ke tangan yang salah.
Sementara itu, optimalisasi pelaksanaan kluster 1 hingga 4 dalam pemenuhan hak anak disebut sebagai prasyarat untuk menghindari perluasan kluster 5—anak dengan kebutuhan perlindungan khusus.
Jasra menutup refleksi HAN 2025 dengan pesan optimisme. “Momentum HAN dengan tagline Semua Anak Indonesia Bersaudara hanya bisa terwujud bila semua orang dewasa juga bersaudara dalam kepedulian, kesadaran lingkungan, dan kemanusiaan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa perlindungan anak bukan sekadar wacana hukum dan kebijakan, melainkan tanggung jawab kultural dan moral untuk membangun ekosistem yang membuat anak Indonesia merasa dicintai dan dilindungi di tanahnya sendiri.






