Oleh: Advokat Ki Jal Atri Tanjung (Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat)
Ketika bumi Ranah Minang berguncang, bukan hanya bangunan yang runtuh. Harapan, masa depan, dan kehidupan ribuan keluarga ikut terkubur di bawah reruntuhan. Kini, Sumatera Barat tengah berjuang bangkit dari luka bencana yang meninggalkan jejak kerusakan masif di berbagai sektor. Pemerintah pusat telah menganggarkan Rp 13 triliun untuk rehabilitasi dan rekonstruksi—sebuah angka yang terdengar fantastis di telinga awam, namun menimbulkan pertanyaan krusial: cukupkah?
Mari kita runut faktanya dengan jernih. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Suharyanto, mencatat bahwa total kebutuhan pemulihan bencana di Sumatera mencapai Rp 51,82 triliun. Dari jumlah tersebut, Sumatera Barat membutuhkan sekitar Rp 13,52 triliun. Namun realitasnya, alokasi yang disetujui hanya Rp 13 triliun—selisih Rp 520 miliar yang mungkin terlihat kecil di atas kertas, tetapi bisa berarti ratusan rumah yang tak terbangun kembali, puluhan sekolah yang masih rubuh, atau jalan-jalan penghubung ekonomi yang terus berlubang.
Kerusakan yang dialami Sumatera Barat tidak main-main. Jalan dan jembatan yang menjadi nadi ekonomi masyarakat hancur. Sistem irigasi yang menghidupi sawah-sawah produktif rusak parah. Gedung-gedung perkantoran tempat birokrasi melayani rakyat retak dan tak layak pakai. Rumah ibadah sebagai pusat spiritual masyarakat roboh. Sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi tempat menggantungkan masa depan anak-anak kita, kini hanya tinggal puing.
Pemerintah, harus diakui, tidak tinggal diam. Kementerian Pekerjaan Umum telah memulai perbaikan infrastruktur vital. Posko-posko terpadu dibentuk di tingkat provinsi hingga kabupaten untuk mengkoordinasikan upaya pemulihan. BNPB, TNI, Polri, dan berbagai kementerian terkait dimobilisasi untuk distribusi logistik dan rekonstruksi darurat. Target ambisius pun ditetapkan: rehabilitasi dan rekonstruksi selesai dalam satu tahun.
Namun di balik semangat ini, kita harus bertanya dengan kritis: apakah satu tahun cukup realistis? Apakah Rp 13 triliun mampu menambal semua luka yang menganga? Pengalaman bencana-bencana sebelumnya di Indonesia mengajarkan bahwa angka-angka di atas kertas sering kali tidak cukup ketika berhadapan dengan realitas lapangan yang kompleks.
Total dana yang dialokasikan pemerintah pusat untuk Sumatera Barat pada 2025 mencapai Rp 31,91 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 10,46 triliun dan transfer ke daerah Rp 21,44 triliun. Transfer ini mencakup Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 14,4 triliun dan Dana Desa Rp 1,05 triliun.
Pertanyaannya: berapa dari total anggaran ini yang benar-benar tersalurkan langsung untuk pemulihan bencana? Berapa banyak yang akan terserap oleh mekanisme birokrasi yang panjang dan berliku? Berapa persen yang akan sampai ke tangan masyarakat korban bencana yang benar-benar membutuhkan?
Kita perlu memastikan bahwa anggaran ini tidak hanya menjadi angka statistik yang indah dalam laporan tahunan, tetapi benar-benar menjadi solusi konkret bagi penderitaan masyarakat.
Strategi pemerintah mencakup tiga pilar utama: perbaikan infrastruktur fisik, pemulihan ekonomi masyarakat, dan peningkatan kualitas hidup. Pendekatan ini sudah tepat secara konseptual. Namun implementasinya memerlukan pengawasan ketat dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat.
Pemulihan ekonomi, misalnya, tidak bisa hanya bergantung pada bantuan pemerintah. Perlu ada strategi jangka panjang untuk memberdayakan potensi sumber daya lokal—dari pertanian, pariwisata, hingga industri kreatif. Kualitas sumber daya manusia juga harus ditingkatkan agar masyarakat tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi pelaku utama dalam membangun kembali kampung halaman mereka.
Yang sering terlupakan dalam diskusi rehabilitasi dan rekonstruksi adalah aspek mitigasi dan ketahanan bencana (disaster resilience). Membangun kembali dengan standar lama adalah kesalahan yang tidak boleh terulang. Kita harus memastikan bahwa setiap bangunan yang direkonstruksi memiliki standar tahan gempa yang memadai. Setiap jembatan yang dibangun kembali harus diperhitungkan kekuatannya menghadapi bencana serupa di masa depan.
Sistem peringatan dini harus diperkuat. Pendidikan kebencanaan harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Masyarakat perlu dilatih untuk tanggap dan siaga bencana. Semua ini memerlukan anggaran tambahan yang mungkin belum terhitung dalam Rp 13 triliun yang sudah dialokasikan.
Pengalaman menangani berbagai bencana di Indonesia mengajarkan satu pelajaran penting: transparansi dan akuntabilitas adalah kunci kesuksesan rehabilitasi dan rekonstruksi. Masyarakat berhak tahu kemana setiap rupiah anggaran mengalir. Organisasi masyarakat sipil, media, dan elemen pengawas lainnya harus diberi akses penuh untuk memantau pelaksanaan program.
Korupsi dan penyalahgunaan dana bencana adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak termaafkan. Ketika dana yang seharusnya membangun kembali rumah seorang ibu yang kehilangan segalanya malah mengalir ke kantong oknum tertentu, itu bukan hanya soal kerugian negara—itu adalah pembunuhan harapan.
Cukup atau Tidak, Kita yang Menentukan
Kembali ke pertanyaan awal: apakah Rp 13 triliun cukup untuk memulihkan Sumatera Barat? Jawabannya bergantung pada bagaimana dana itu dikelola. Dengan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang efisien, pengawasan yang ketat, dan partisipasi masyarakat yang aktif, Rp 13 triliun bisa menjadi awal yang baik—meskipun mungkin tidak sempurna.
Namun jika dana ini dikelola dengan cara-cara lama yang penuh inefisiensi dan kebocoran, maka bahkan Rp 50 triliun pun tidak akan cukup. Yang paling penting adalah memastikan bahwa setiap rupiah anggaran benar-benar sampai ke tangan yang tepat dan memberikan dampak nyata bagi pemulihan kehidupan masyarakat Sumatera Barat.
Rekonstruksi Sumatera Barat bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Ini adalah tanggung jawab kita bersama—sebagai warga negara, sebagai manusia yang memiliki empati terhadap penderitaan sesama. Mari kita kawal proses ini bersama-sama, demi Ranah Minang yang bangkit lebih kuat dan lebih tangguh.
“Bencana menghancurkan, tetapi solidaritas dan kerja keras membangun kembali. Pertanyaannya bukan cukup atau tidak, tetapi mau atau tidak kita bekerja dengan sepenuh hati untuk rakyat yang menderita.”




