Oleh: Irdam Imran – Mantan Birokrat Parlemen, Sekretaris Wakil Ketua DPD RI Irman Gusman 2006–2009
Di ruang sidang besar Gedung Nusantara, jajaran kursi tertata sempurna. Presiden duduk sejajar dengan pimpinan DPD dan DPR, sementara para gubernur, bupati, dan wali kota memadati balkon atas. Semua menunggu pidato kenegaraan yang menjadi inti Sidang Bersama DPR–DPD—forum tahunan yang menyatukan eksekutif, legislatif, dan pemerintah daerah.
Sidang tahun ini adalah yang ke-15 sejak pertama kali digelar pada 2010, dan akan dihadiri Presiden Prabowo Subianto bersama sejumlah mantan kepala negara.
Akar Historis
DPD lahir dari amandemen ketiga UUD 1945 pada 2001 sebagai representasi kepentingan daerah. Perubahan itu menggeser MPR dari sistem unikameral menjadi bikameral, menggabungkan DPR dan DPD. Namun gagasan Sidang Bersama baru muncul pada periode awal DPD (2004–2009).
Irman Gusman—saat itu Wakil Ketua DPD berusia muda—mengusulkan forum resmi tahunan yang mempertemukan Presiden, DPR, DPD, dan para kepala daerah. Tujuannya: menjembatani kebijakan pusat dan pelaksanaannya di daerah.
Usulan ini awalnya ditolak. Pada 2005, Irman bahkan mengancam mengundang Presiden langsung ke forum DPD untuk membacakan pidato kenegaraan dan Nota Keuangan jika Sidang Bersama tak terealisasi. Pemerintah, lewat Menko Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, menolak dengan alasan konstitusionalitas.
Lobi-lobi berlanjut hingga 2010, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui format Sidang Bersama melalui Peraturan Bersama DPR–DPD yang disahkan 3 Agustus 2010. Setahun kemudian, Irman menjadi pimpinan DPD pertama yang memimpin sidang paripurna bersama.
Agenda Tetap Kenegaraan
Sejak itu, setiap 16 Agustus, Presiden menyampaikan dua pidato:
Pagi: Pidato Kenegaraan, refleksi perjalanan bangsa dan arah kebijakan.
Siang: RAPBN dan Nota Keuangan, landasan pembahasan anggaran di parlemen.
Tahun ini, jadwal dimajukan sehari menjadi 15 Agustus karena 16 Agustus jatuh pada Sabtu.
Antara Simbol dan Substansi
Meski tradisi ini bertahan, sejumlah pengamat menilai esensi awalnya memudar. Forum kini cenderung seremonial, sementara interaksi strategis pusat-daerah minim. Kehadiran kepala daerah lebih bersifat simbolis dibanding forum diskusi substantif yang pernah dibayangkan Irman Gusman.
Agar relevan, beberapa opsi dipertimbangkan: sesi tematik singkat dari kepala daerah, paparan capaian daerah terkait prioritas nasional, dan mekanisme tindak lanjut agar hasil sidang memengaruhi kebijakan serta anggaran.
Menjaga Roh Awal
Sidang Bersama adalah bukti bahwa ide yang sempat ditolak dapat menjadi tradisi kenegaraan. Kini, tantangan bagi generasi politik berikutnya adalah mengembalikan forum ini ke misi semula—memastikan suara daerah mendapat tempat di panggung nasional.




