MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA – Ketegangan antara pemerintah dan para pelaku transportasi barang kembali mencuat setelah sebuah spanduk kontroversial yang dipasang di belakang truk Over Dimension Over Loading (ODOL) viral di media sosial. Spanduk tersebut memuat pesan terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, menyuarakan keresahan para sopir truk ODOL yang merasa terpinggirkan dalam wacana kebijakan nasional.
Isi spanduk itu berbunyi:
“MOHON MAAF PAK PRESIDEN, KAMI PARA DRIVER ODOL TIDAK PERNAH MINTA KERJAAN PADA NEGARA. KAMI PENGGERAK RODA EKONOMI NEGARA. KAMI BUKAN PAKAR KORUPSI DAN PUNGLI, TAPI KAMI SELALU JADI DONATUR PUNGLI DI MANA-MANA.
SALAM WARAS DI NEGERI YANG SAKIT.”
Pesan bernada kritik itu menyebar luas setelah sebelumnya sempat viral bendera bajak laut One Piece yang dipasang pada sejumlah truk sebagai simbol perlawanan dan identitas kebebasan. Fenomena ini menyoroti adanya tekanan yang dirasakan para sopir truk ODOL terhadap regulasi pengetatan angkutan barang, pungutan liar di jalanan, dan minimnya perhatian terhadap kesejahteraan mereka.
Ketegangan Lama, Keluhan yang Melebar
Truk ODOL telah lama menjadi sorotan dalam kebijakan transportasi nasional. Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan, gencar menertibkan kendaraan yang dianggap melebihi batas dimensi dan kapasitas muatan yang ditentukan undang-undang. Langkah ini disebut sebagai upaya untuk menjaga keselamatan di jalan serta memperpanjang usia infrastruktur jalan dan jembatan.
Namun, dari sisi pelaku usaha dan sopir di lapangan, aturan ini dinilai menekan ruang gerak ekonomi dan penghidupan mereka.
“Regulasi itu mungkin ideal di atas kertas, tapi realitas di lapangan sangat berbeda. Banyak sopir dan pengusaha logistik kecil yang terjepit,” ujar seorang analis logistik independen, Riko Hamdani.
Ia menambahkan bahwa pelarangan ODOL seharusnya dibarengi dengan insentif untuk peremajaan armada dan pembenahan sistem logistik nasional secara menyeluruh, bukan hanya penindakan sepihak.
“Kami Bukan Pakar Korupsi, Tapi Jadi Donatur Pungli”
Poin paling mencolok dari spanduk tersebut adalah kritik tajam terhadap maraknya pungutan liar. Para sopir truk ODOL mengaku menjadi korban rutin dari praktik pungli di berbagai titik jalan raya dan jembatan timbang. Meskipun berbagai operasi penertiban telah dilakukan aparat, para sopir menilai akar masalah belum terselesaikan.
“Kami bukan pelaku korupsi, tapi justru jadi sumber pendanaan pungli di mana-mana. Kalau negara mau bersih, mulai dari situ,” tulis seorang pengguna media sosial yang mengomentari spanduk tersebut.
Ungkapan “Salam waras di negeri yang sakit” menjadi semacam manifesto keresahan sosial dari kelompok bawah yang merasa dipinggirkan oleh sistem birokrasi dan ketimpangan perlakuan.
Ekonomi Jalanan yang Terlupakan
Sektor transportasi darat—khususnya angkutan berat—memegang peranan penting dalam rantai pasok nasional. Truk-truk ODOL selama ini beroperasi karena dorongan efisiensi biaya distribusi, terutama bagi pelaku usaha kecil menengah yang tidak mampu menanggung tarif logistik formal yang lebih mahal.
Dalam laporan Bappenas tahun 2024, disebutkan bahwa lebih dari 70% distribusi barang di Indonesia masih mengandalkan jalur darat. Artinya, para sopir truk adalah tulang punggung ekonomi yang bekerja di bawah tekanan tinggi, namun jarang mendapatkan perlindungan yang setara dengan peran vital mereka.
“Selama sistem logistik kita masih timpang dan tidak inklusif, maka ODOL akan tetap jadi pilihan rasional, bukan karena ingin melanggar, tapi karena didorong kebutuhan bertahan,” kata pakar transportasi UI, Dr. Nino Hadi.
Reaksi Pemerintah Masih Minim
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari Istana Negara maupun Kementerian Perhubungan terkait spanduk yang viral tersebut. Namun sejumlah pejabat di lingkungan Ditjen Perhubungan Darat menyatakan akan terus melakukan pendekatan persuasif serta sosialisasi kepada para pelaku usaha logistik.
“Kami memahami keresahan itu. Tapi semua pihak harus duduk bersama dan cari solusi yang tidak merugikan kepentingan nasional jangka panjang,” ujar sumber internal kementerian yang enggan disebutkan namanya.
Simbol Perlawanan Baru?
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari gelombang protes bawah tanah yang menggunakan simbol-simbol budaya populer seperti bendera One Piece untuk menyuarakan identitas kelompok. Dalam konteks ini, para sopir ODOL bukan hanya mengemudi kendaraan, tapi juga menyuarakan ideologi: keberanian, perlawanan, dan solidaritas.
Dengan minimnya ruang dialog, jalan raya pun menjadi panggung ekspresi sosial dan protes diam. Spanduk di belakang truk, yang dulu hanya memuat kalimat jenaka, kini bertransformasi menjadi statement politik jalanan yang keras namun jujur.






