Selamatkan Generasi Muda, Ketum MUI Sumbar Buya Dr. Gusrizal Minta Keluarga Jadi Benteng Moral Cegah Perzinahan

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, menegaskan pentingnya peran keluarga dan otoritas keagamaan dalam mencegah tindakan yang berpotensi mengarah pada perzinahan. Hal ini disampaikannya dalam kajian keagamaan di Masjid Surau Buya Gusrizal, Kota Bukittinggi, baru-baru ini.

Dalam paparannya, Buya Dr. Gusrizal menyoroti bahwa pencegahan perbuatan zina tidak hanya dilakukan setelah terjadi, melainkan harus dimulai sejak dini dengan membatasi indikasi yang memicu penyimpangan moral. “Syariat Islam memberikan kewenangan kepada waliul amr (pemegang otoritas), terutama keluarga, untuk bertindak tegas terhadap anggota yang berpotensi menyebarkan kerusakan di masyarakat, termasuk melalui penampilan yang dinilai mengundang hasrat negatif,” ujarnya.

Buya Gusrizal mengutip Surah An-Nisa ayat 15 sebagai landasan, yang menurutnya masih relevan untuk diterapkan. Ayat tersebut menyebutkan bahwa perempuan yang diduga kuat melakukan perbuatan keji (seperti zina) dapat ditahan di rumah hingga ajal tiba jika tidak ada empat saksi yang membuktikan tindakannya. Meski tidak secara literal menerapkan kurungan seumur hidup, ia menekankan bahwa semangat ayat ini adalah mencegah penyebaran maksiat melalui langkah preventif.

“Ketika seseorang keluar dengan pakaian yang mengundang atau menampilkan diri secara tidak senonoh, keluarga berhak melarangnya. Ini bukan pelanggaran HAM, tetapi upaya menyelamatkan masyarakat dari kerusakan moral,” tegasnya. Ia juga mengkritik pandangan modern yang menganggap larangan seperti itu sebagai pembatasan kebebasan individu.

Buya Gusrizal mengakui bahwa pendekatan ini kerap berbenturan dengan hukum positif dan hak asasi manusia. Contohnya, aturan yang melarang razia di hotel atau ruang privat membuat pelaku zina sulit dibuktikan. Namun, ia menegaskan bahwa Islam menempatkan kepentingan masyarakat di atas kebebasan pribadi. “Kebebasan berpakaian atau berperilaku tidak boleh menimbulkan mudarat (kerusakan) bagi orang banyak,” tambahnya.

Ia juga menyoroti lemahnya peran keluarga saat ini. “Banyak orang tua mengeluh tidak bisa mengontrol anak, padahal dalam hal lain mereka tegas. Mengapa justru dalam urusan menutup aurat dan mencegah maksiat menjadi lemah?” ujarnya. Menurutnya, keluarga adalah benteng pertama yang harus memastikan anggota keluarganya tidak menjadi pemicu kerusakan moral.

Pernyataan Buya Gusrizal ini menuai pro-kontra di tengah masyarakat. Sebagian mendukung langkah preventif sebagai solusi atas maraknya pergaulan bebas, sementara lainnya mengkhawatirkan potensi pelanggaran privasi dan stigmatisasi terhadap perempuan.

Sebagai informasi, MUI sebagai lembaga ulama kerap menjadi rujukan dalam isu moral di Indonesia. Pandangan Buya Gusrizal merefleksikan upaya mengintegrasikan nilai-nilai syariat dengan tantangan modern, terutama di daerah yang menerapkan peraturan berbasis agama seperti Sumatra Barat.

Kajian ini menegaskan kembali pentingnya kolaborasi antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang menjunjung nilai moral. Buya Gusrizal berharap semangat pencegahan ini dapat mengurangi angka perzinahan tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

Related posts