MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Senin siang, udara di Jalan H. Agus Salim mendidih lebih cepat dari biasanya. Terik matahari tak seberapa dibanding panasnya amarah puluhan massa yang mengepung kantor Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Padang. Spanduk terbentang, suara toa menggelegar, dan kalimat sindiran tajam berulang kali dilontarkan.
“Air melimpah, rakyat mandi pakai limbah. Bukannya berbenah, malah makan duit sampah!” seru Wiliam, koordinator aksi dari Pertahanan Ideologi Sarekat Islam (PERISAI) Wilayah Sumatera Barat. Kata-kata itu menyayat telinga, sekaligus menggaung ke jagat maya. Viral.
Bagi sebagian warga Padang, kalimat itu bukan sekadar retorika. Ia merangkum pengalaman sehari-hari: air PDAM yang keruh, tagihan yang membengkak, hingga retribusi sampah yang dibebankan kepada masyarakat pengguna.
Dari Air Kotor ke Retribusi Sampah
Masalah PDAM di Padang bukan barang baru. Namun, sejak Wali Kota mengeluarkan SK Nomor 227 Tahun 2024 yang menunjuk PDAM sebagai pemungut retribusi sampah, bara kekecewaan makin membesar.
“Kadang-kadang sampah rumah tangga tidak diangkut petugas. Tapi tagihan retribusinya tetap jalan, dimasukkan ke rekening PDAM,” keluh seorang ibu rumah tangga di Lubuk Begalung. “Kami bayar, tapi sampah tetap berserakan.”
Di lapangan, pengelolaan sampah masih jauh dari kata tertib. Warga mengeluh pada PDAM, PDAM menyalahkan LPS. Sementara itu, uang retribusi tetap mengalir.
Tuntutan yang Mengguncang
Dalam aksinya, PERISAI membawa enam tuntutan. Pertama, copot Direktur Utama PDAM. Kedua, bersihkan oknum yang merugikan keuangan daerah. Ketiga, audit dan buka data retribusi sampah yang diserahkan ke PDAM. Keempat, batalkan SK Wali Kota soal penunjukan PDAM sebagai pemungut retribusi.
Tuntutan kelima menyasar dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa. Dan yang terakhir, publikasi pendapatan PDAM dua tahun terakhir.
“Perjuangan ini bukan sekadar soal PDAM,” kata seorang aktivis dengan wajah berkeringat. “Ini soal kedaulatan rakyat atas sumber daya alam.”
Mereka menyandarkan argumen pada konstitusi: Pasal 33 UUD 1945, UU Sumber Daya Air, hingga UU Pelayanan Publik. Baginya, penyimpangan dalam pengelolaan PDAM adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Tigo Tungku Sajarangan yang Hilang
Di Minangkabau, ada falsafah tigo tungku sajarangan—pemerintah, ninik mamak, dan masyarakat duduk bersama mencari mufakat. Namun, soal retribusi sampah dan tata kelola PDAM, falsafah itu seperti hilang ditelan birokrasi.
“Pernahkah Pemkot dan PDAM duduk bersama masyarakat untuk menentukan besaran retribusi?” tanya seorang pengunjuk rasa. “Atau semuanya hanya keputusan sepihak yang dipaksakan dari atas?”
Ketiadaan musyawarah inilah yang dianggap memperlebar jurang antara warga dan pemerintah. Sampah menjadi simbol, air keruh menjadi metafora.
Menunggu Jawaban atau Janji?
Kini, bola panas ada di tangan Pemkot Padang dan direksi PDAM. Apakah tuntutan massa akan ditanggapi dengan langkah nyata: audit terbuka, restrukturisasi manajemen, hingga perbaikan layanan? Atau semua kembali ke pola lama: janji manis, realisasi nihil?
Di depan kantor PDAM, suara orator masih bergema. Di belakangnya, spanduk bertuliskan: “Air untuk rakyat, bukan untuk pejabat.”
Padang menunggu. Warga masih setia membayar tagihan. Tapi kesabaran punya batas.






