Suara Minang Menolak Cap Intoleran, Menuntut Harmoni Berbasis Adat

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Masjid-masjid menjulang dan surau-surau tua di Sumatera Barat bukan sekadar bangunan. Ia simbol hidupnya tatanan Islam yang berabad-abad berkelindan dengan adat, akhlak, dan keyakinan. Maka, ketika sebuah rumah doa GKSI berdiri diam-diam di Padang Sarai, tanpa izin resmi, tanpa dialog dengan warga Muslim mayoritas, gemuruh penolakan pun pecah.

“Ini pelecehan terhadap tatanan sosial yang dijaga ratusan tahun,” ujar Ustad Asrizal Muchtar, dai kondang sekaligus pengurus MUI Sumbar, suaranya tegas tapi berusaha tenang. Ia menegaskan: kerusakan fisik rumah doa itu tak patut dibenarkan, tapi publik berhak bertanya—kenapa pembangunan bisa lolos tanpa sepengetahuan warga? Di mana fungsi negara menjaga harmoni sebelum konflik meletus?

Bukan Anti Perbedaan, Tapi Muak Pada Kelicikan
“Jangan pura-pura tidak tahu,” sergah Asrizal. Mayoritas umat Islam Sumbar, katanya, bukan intoleran. Tapi mereka muak ketika perbedaan dimanfaatkan untuk menyusup diam-diam, mengabaikan kesepakatan sosial, lalu bersembunyi di balik narasi intoleransi saat ditolak. “Kami punya batas. Dan jika dilanggar, kemarahan adalah konsekuensi alamiah,” tambahnya.

Tanah Minang ini, tegasnya, bukan ruang kosong. Setiap jengkalnya dipagari masjid, surau, dan rumah pengajian. “Bukan tempat untuk ditempeli keyakinan lain tanpa izin tuan rumah.”

Negara Harus Hadir Sejak Awal, Bukan Saat Darurat
Ustad Asrizal mendesak pemerintah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumbar tak hanya jadi “pemadam kebakaran”. Harmoni, menurutnya, harus dijaga sejak hulu: dengan regulasi tegas, bukan abu-abu. “Persyaratan bangun rumah ibadah di wilayah mayoritas Muslim harus ekstra ketat: dialog terbuka, kesepakatan warga, dan evaluasi transparan.”

Ia menyentil lembaga seperti Maarif Institute yang dinilai menyebar pernyataan sepihak tanpa investigasi lapangan. “Juga narasi medsos yang menuding Orang Minang intoleran—itu provokasi buta! Ini bukan konflik SARA, tapi kesalahpahaman yang dipicu pelanggaran prosedur.”

Kearifan Lokal: Jan Manangguak di Aie Karuah
Di penghujung pernyataannya, Ustad Asrizal mengingatkan falsafah Minang: “Jan manangguek di aie karuah”* (jangan memperkeruh keadaan). Pesannya jelas—jangan memperkeruh situasi dengan narasi bias. Yang dibutuhkan adalah penghormatan pada aturan dan adat sebagai penjaga gawang identitas lokal.

“Jika kearifan lokal diinjak-injak kelicikan berkedok rumah doa, yang lahir bukan damai, tapi luka menganga,” pungkasnya. Tagar #sumbarrancak dan #minangkabautoleran pun bergemuruh, menandai suara warga yang menolak dikalahkan oleh narasi sepihak.

Tragedi Padang Sarai adalah cermin kompleksitas harmoni di Indonesia. Di satu sisi, negara wajib menjamin kebebasan beribadah. Di sisi lain, ia tak boleh abai pada denyut kearifan lokal yang hidup ratusan tahun. Ketika komunikasi dan regulasi gagal di hulu, kerusuhan di hilir hanyalah soal waktu.

Related posts