Suluk Kepemimpinan: Membasuh Ego dengan Mufakat dan Etongan

  • Whatsapp

Oleh : Dr. Irwandi Nashir (Dosen UIN Bukittinggi/Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Payakumbuh)

Falsafah Minangkabau mengajarkan aksioma kepemimpinan yang melintasi zaman: Nan elok ambiak jo mufakaik, nan buruak buang jo etongan. Secara substansial, kalimat ini bukan hanya sebuah pepatah, tetapi sebuah arsitektur pengambilan keputusan yang menggabungkan kedalaman spiritual dan ketajaman manajemen strategis. Falsafah ini adalah sebuah perjalanan suluk dalam berorganisasi—sebuah upaya untuk menyelaraskan kehendak insani dengan garis Ilahi. Dalam dunia manajemen strategis yang sering kali kering dan hanya terpaku pada angka, prinsip ini hadir sebagai oase yang memberikan “ruh” pada setiap kebijakan.

Mufakat: Peleburan Ego dalam Cawan Kebenaran

Pilar pertama, “Nan elok ambiak jo mufakaik, (Sesuatu yang baik dapat diambil melalui mufakat)” mengajarkan kita bahwa sesuatu yang dianggap “elok” atau baik secara individual, belum tentu memiliki keberkahan jika tidak divalidasi melalui kolektivitas. Dalam manajemen modern, kita mengenalnya sebagai strategic alignment, namun dalam bahasa rasa, ini adalah upaya penghancuran berhala keakuan (ananiah).

Seorang pemimpin yang membawa ide brilian ke meja musyawarah sejatinya sedang melakukan sebuah ritual tawadhu. Ia tidak memaksakan kehendaknya sebagai kebenaran mutlak. Sebaliknya, ia membiarkan idenya disaring, dikritik, dan dipoles oleh sudut pandang orang lain. Inilah esensi dari mufakat: sebuah proses penyucian niat. Ketika sebuah keputusan lahir dari mufakat, ia tidak lagi membawa beban ego pribadi, melainkan menjadi energi bersama yang direstui oleh nurani kolektif.

Musyawarah bagaikan cermin. Kita melihat kekurangan ide kita melalui mata saudara kita, dan kita menyempurnakannya dengan kearifan mereka. Tanpa mufakat, sebuah organisasi hanyalah sekumpulan orang yang dipaksa mengikuti ambisi satu orang. Namun dengan mufakat, organisasi berubah menjadi sebuah “tubuh yang satu” (jassadun wahid), di mana setiap elemen merasa memiliki dan bertanggung jawab atas setiap langkah yang diambil.

Manajemen Etongan: Ketajaman Akal, Kejernihan Batin

Pilar kedua: “Nan buruak buang jo etongan (sesuatu yang buruk dibuang melalui pertimbangan)” memberikan landasan bagi ketegasan yang beradab. Dalam menahkodai sebuah lembaga, tidak jarang kita menemukan kerikil dalam sepatu: entah itu berupa inefisiensi, budaya kerja yang toksik, atau konflik kepentingan yang merusak sistem.

Keburukan ini harus dibuang, namun tidak boleh dilakukan dengan amarah atau kebencian yang meledak-ledak.
“Etongan” di sini bermakna ganda: kalkulasi strategis dan muhasabah batin. Secara manajerial, setiap keputusan untuk memotong sebuah unit bisnis, memberhentikan personel, atau mengubah arah kebijakan harus didasarkan pada data yang akurat dan analisis risiko yang tajam. Kita tidak membuang sesuatu karena sentimen, melainkan karena berdasarkan hitungan yang jujur, hal tersebut akan membawa kerusakan (mudharat) yang lebih besar jika dibiarkan.

Namun, di balik angka-angka tersebut, ada aspek “etongan” spiritual. Seorang pemimpin harus menghitung dampak keputusannya di hadapan pengadilan nurani dan pengadilan Allah Ta’ala. Membuang yang buruk dengan “etongan” berarti melakukan pembersihan (tazkiyah) organisasi dengan penuh kehati-hatian (wara’). Ia seperti seorang ahli bedah yang memotong bagian yang busuk demi menyelamatkan nyawa pasiennya; dilakukan dengan presisi, tanpa kebencian terhadap pasiennya, melainkan atas dasar cinta pada keselamatan.

Dalam konteks manajemen organisasi, penggabungan kedua prinsip ini menciptakan stabilitas yang dinamis. Musyawarah memastikan kita tidak melompat ke jurang karena kesombongan, sementara “etongan” memastikan kita tidak tenggelam dalam lumpur ketidakpastian.

Bayangkan sebuah organisasi yang sedang menghadapi krisis keuangan. Jika pemimpin hanya menggunakan “etongan” tanpa mufakat, ia mungkin akan melakukan PHK massal secara dingin demi menyelamatkan neraca keuangan. Akibatnya, kepercayaan karyawan runtuh, dan ruh organisasi hilang. Sebaliknya, jika hanya mufakat tanpa “etongan”, organisasi mungkin akan terjebak dalam diskusi yang penuh rasa iba namun tidak realistis, yang akhirnya membawa semua orang pada kebangkrutan bersama.

Kearifan lokal mengajarkan jalan tengah: bermufakatlah untuk mencari solusi kreatif (misalnya, pengurangan jam kerja atau efisiensi biaya operasional lainnya) dan gunakan “etongan” yang transparan agar semua pihak memahami mengapa keputusan pahit itu harus diambil. Inilah yang disebut dengan transparansi yang bermartabat.

Suluk Organisasi: Menuju Keberkahan Hasil

Kepemimpinan yang menjalankan “Nan elok ambiak jo mufakaik, nan buruak buang jo etongan” pada akhirnya akan melahirkan organisasi yang sejuk dan penuh berkah. Sejuk dalam artian tidak ada gejolak ego yang membara, dan berkah dalam artian setiap langkahnya membawa manfaat bagi orang banyak.

Secara batiniah, pemimpin seperti ini adalah seorang pengabdi. Ia sadar bahwa kursi kepemimpinan hanyalah sajadah tempat ia mengabdi. Musyawarah adalah bentuk penghormatannya kepada sesama hamba Allah Ta’ala, dan “etongan” adalah bentuk pertanggungjawabannya kepada Sang Pemilik Amanah.

Ketika kebaikan diambil dengan mufakat, ia menjadi cahaya yang menerangi jalan. Ketika keburukan dibuang dengan hitungan, ia menjadi air yang membasuh kotoran. Organisasi bukan lagi sekadar tempat mencari nafkah, melainkan ladang amal di mana setiap individu bertumbuh secara profesional dan spiritual.

Menghidupkan falsafah Minang ini dalam manajemen organisasi adalah upaya untuk mengembalikan martabat manusia di tengah mekanisasi dunia kerja. Kita diajak untuk kembali pada fitrah: bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan dengan akal untuk berhitung dan hati untuk bermufakat.

Dengan memegang teguh prinsip ini, kita tidak hanya membangun organisasi yang sukses secara finansial atau reputasi, tetapi kita sedang membangun sebuah peradaban kecil yang di dalamnya terdapat keadilan, kasih sayang, dan integritas. Itulah puncak dari suluk kepemimpinan: saat manajemen menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Benar.

Related posts