Oleh: Ranti Sadira
Sekretaris PW IPM Sumatera Barat Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik
Kekerasan kini hadir di ruang-ruang yang dulu kita anggap aman. Di sekolah, di rumah, bahkan di dunia maya. Setiap pekan, berita tentang kekerasan terhadap perempuan, anak, atau remaja menghiasi linimasa dan layar berita. Dari bullying hingga kekerasan seksual, dari luka fisik hingga luka batin yang tak tampak. Di balik semua itu, satu hal tampak jelas: masyarakat kita sedang kehilangan empati.
Kemarahan lebih cepat lahir ketimbang kasih sayang. Kata-kata yang menyakiti kini lebih mudah diucapkan daripada doa yang menenangkan. Bahkan di ranah yang dikenal santun dan religius seperti Sumatera Barat, kekerasan dan tragedi kemanusiaan kian sering terjadi—seolah falsafah luhur Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) perlahan kehilangan daya hidupnya.
Beberapa bulan terakhir, Sumatera Barat seperti dibungkam rentetan peristiwa kelam. Seorang siswi SMA di Pesisir Selatan, berusia 16 tahun, melahirkan di dalam kelas—bayinya hasil hubungan dengan tetangga yang masih kerabat. Di Sawahlunto, dua pelajar SMP ditemukan tewas gantung diri di ruang sekolah dalam waktu kurang dari sebulan. Di Padang Pariaman, seorang guru justru menjadi predator bagi murid-muridnya sendiri. Sementara di Bukittinggi, seorang ibu muda membuang bayinya ke jurang Ngarai Sianok. Lalu di Batang Anai, tubuh manusia ditemukan terpotong-potong di sungai.
Deretan kasus itu seperti cermin retak yang memantulkan wajah buram ranah Minang hari ini. Negeri yang dulu dikenal dengan martabat dan sopan santun kini diguncang oleh kekerasan, bunuh diri, dan kehilangan arah moral.
A.A. Navis, dalam Alam Terkembang Jadi Guru, pernah menulis, “Setiap yang terjadi di alam ini adalah guru, hanya saja manusia sering menutup mata.” Kini, seolah alam sedang menegur kita. Bukan karena takdir yang kejam, melainkan karena kita abai menjaga warisan nilai yang dulu menjadi fondasi peradaban Minangkabau.
ABS-SBK—yang seharusnya menjadi panduan hidup—kini tinggal slogan di podium, hiasan di dinding aula, dan kalimat hafalan di buku pelajaran.
Navis juga pernah menulis getir, “Yang rusak bukan hanya tanah, tapi juga budi pekerti.” Barangkali itu kini benar-benar terjadi. Ketika anak muda lebih sering berkeluh di media sosial daripada berbincang dengan orang tua. Ketika masyarakat lebih cepat menghakimi daripada memahami. Dan ketika surau—yang dulu menjadi pusat pendidikan moral dan spiritual—kini sunyi, tergantikan oleh dunia maya dan algoritma yang tak mengenal nilai.
Surau dulu melahirkan generasi beradab: yang berpikir dengan ilmu, berbuat dengan iman, dan malu ketika menyalahi adab. Kini, surau tinggal bangunan berdebu. Pemerintah dan pemimpin adat sering bicara tentang pelestarian nilai, tapi lupa menghidupkannya. ABS-SBK dijadikan jargon seremonial, bukan napas dalam kebijakan publik. Banyak pejabat sibuk membangun citra, tapi lalai membangun jiwa rakyatnya.
Padahal menjaga adat bukan nostalgia. Itu soal masa depan. Surau yang hidup berarti generasi yang berkarakter. ABS-SBK yang diamalkan berarti peradaban yang berakar. Ketika itu hilang, maka sesungguhnya kita sedang menulis kisah kemunduran kita sendiri—bukan dengan tinta, tapi dengan abai dan diam yang menyakitkan.
Kini, saatnya niniak mamak kembali ke peran sejatinya sebagai tali tigo sapilin—penuntun arah moral, bukan hanya penjaga nama kaum. Saatnya bundo kanduang bangkit lagi sebagai limpapeh rumah nan gadang, penanam kasih dan penjaga marwah di tengah keluarga yang kian renggang. Dan kepada pemerintah, berhentilah menjadikan adat sebagai kosmetik kebijakan. Hidupkan surau, dayagunakan organisasi pemuda, kuatkan kembali pendidikan moral di sekolah-sekolah.
Terakhir, kepada pemuda Minang: sadarilah bahwa masa depan ranah ini bertumpu di pundakmu. Lawan kekerasan dengan kasih. Ganti keputusasaan dengan karya. Jangan biarkan generasi ini tumbuh tanpa arah, tanpa surau, tanpa iman.
Sebab selama kekerasan masih dianggap biasa, dan setiap bunuh diri hanya jadi berita singkat tanpa empati, maka falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah akan terus menjadi kalimat yang indah di lidah, tapi kosong di hati masyarakatnya.




