Surga Tersembunyi yang Terlupakan: Mengapa Sumatera Barat Belum Jadi Raja Wisata Indonesia?

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Danau Maninjau memantulkan cahaya matahari pagi. Ngarai Sianok menghampar dengan dramatis. Kepulauan Mentawai menyimpan ombak yang diburu peselancar dunia. Namun, mengapa Sumatera Barat—dengan segudang pesona yang dimilikinya—masih kalah pamor dibanding Bali atau Lombok?

Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Provinsi Sumatera Barat, punya jawabannya: potensi yang terpencar-pencar.

“Kita punya segalanya,” ujarnya. Wisata alam? Cek. Dari pantai hingga gunung, dari danau hingga pulau-pulau eksotis. Wisata religi? Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi berdiri megah. Wisata budaya? Museum Adityawarman dan Istana Pagaruyung menyimpan jejak peradaban Minangkabau yang agung. Belum lagi Gedung Juang sebagai saksi bisu perjuangan kemerdekaan.

Tapi inilah masalahnya: semua potensi itu berdiri sendiri-sendiri, seperti pulau-pulau yang tak terjembatani.

WISATA SETENGAH HATI

Bayangkan Anda berkunjung ke Museum Adityawarman. Di sampingnya ada Taman Melati yang rindang. Tapi tidak ada pertunjukan tari Piring. Tidak ada randai yang mengisahkan legenda Malin Kundang. Tidak ada lapak rendang atau sate Padang yang mengepul hangat. Anda datang, melihat koleksi, lalu pergi. Selesai.

“Seharusnya tidak begitu,” tegas Ki Jal. “Di satu lokasi wisata, kebutuhan wisatawan harus terpenuhi secara utuh: melihat, merasakan, menikmati, dan membawa pulang pengalaman.”

Konsep wisata terintegrasi inilah yang menurutnya masih absen di Ranah Minang. Padahal, jika setiap destinasi menyajikan paket lengkap—alam, budaya, kuliner, dan hiburan—wisatawan tak perlu berpikir panjang untuk datang dan betah lebih lama.

Bukan Sekadar Cantik, Tapi Ramah

Potensi tanpa pelayanan seperti permata tanpa kotak. Ki Jal menekankan pentingnya membangun budaya wisata yang sehat: bersih, murah, ramah, dan santun.

“Orang datang bukan hanya mencari pemandangan indah. Mereka ingin diperlakukan dengan baik, mendapat informasi yang jelas, dan merasa aman,” katanya.

Ini soal mentalitas. Setiap warga Sumatera Barat—dari sopir angkot hingga penjual souvenir—harus paham bahwa mereka adalah duta pariwisata. Senyum, keramahan, dan kejujuran dalam bertransaksi adalah modal paling murah namun paling berharga.

Dari Potensi ke Pendapatan

Semua upaya ini, menurut Ki Jal, bukan sekadar untuk gengsi. Pariwisata yang dikelola dengan profesional bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan mengisi kas APBD.

Caranya? Delapan strategi utama: perbaikan infrastruktur, promosi masif lewat media sosial dan event budaya, pelestarian lingkungan dan tradisi, pemberdayaan masyarakat lokal, wisata berbasis komunitas, paket wisata variatif, pelatihan pelayanan prima, hingga wisata edukasi yang memadukan rekreasi dengan pembelajaran.

“Kalau semua ini jalan, Sumatera Barat bisa jadi destinasi kelas dunia,” ujar Ki Jal optimis.

Pertanyaannya: kapan mimpi itu terwujud? Atau akankah Ranah Minang tetap menjadi surga yang hanya dikagumi dari kejauhan, sementara wisatawan berbondong-bondong ke tempat lain yang lebih siap menyambut mereka?

Jawabannya ada di tangan kita semua.

Related posts