Oleh : Ki Jal Atri Tanjung, (Advokat & Wakil Ketua PWM Sumbar)
Sebuah peringatan penting bergema seiring perayaan 1 Abad Muhammadiyah Minangkabau: kesejahteraan rakyat harus menjadi ukuran utama, terutama dalam pengelolaan kekayaan alam. Tema besar ini menyoroti sebuah paradoks pahit: tanah Minangkabau yang kaya raya kerap kali hanya menyisakan kerusakan dan kesenjangan bagi warganya, alih-alih kemakmuran yang dijanjikan.
Komitmen Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk menertibkan tambang ilegal dan mengoptimalkan tata kelola, sayangnya, masih terasa seperti retorika di atas kertas. Gerakan nyata dan hasil yang membumi bagi masyarakat masih sulit ditemui. Ini adalah panggilan untuk sebuah transformasi—penguatan kapasitas pemerintah daerah bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Penguatan itu harus konkret. Mulai dari pelatihan sumber daya manusia yang relevan, pengembangan sistem informasi transparan untuk memantau setiap jengkal eksploitasi alam, hingga penganggaran yang memadai dan berkeadilan. Namun, hal teknis saja tidak cukup. Kunci utamanya terletak pada kolaborasi dan keadilan. Kerjasama erat dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, serta membuka ruang partisipasi seluas-luasnya bagi rakyat dalam pengambilan keputusan, adalah jantung dari perubahan. Semua ini harus ditegakkan dengan hukum yang berdaulat, tanpa kompromi pada mereka yang merusak alam dan mengabaikan hak-hak warga.
Di balik semua wacana teknis, ada sebuah prinsip mendasar yang sering terabaikan: hak asasi manusia untuk sejahtera. Dalam perspektif agama, menelantarkan hak ini adalah sebuah kezaliman (Al-Baghy). Allah SWT dalam QS. Asy-Syura: 42 dengan tegas mengutuk mereka yang berbuat zalim dan melampaui batas di muka bumi. Zalim, dalam konteks ini, adalah ketika kekayaan tambang hanya mengalir ke segelintir pihak, sementara masyarakat sekitar hidup dalam limbah dan ketimpangan; ketika kewajiban reklamasi diabaikan, meninggalkan luka ekologis yang dalam.
Fakta menunjukkan bahwa industri pertambangan di Sumatera Barat masih jauh dari kata adil. Kontribusinya bagi perekonomian nasional tidak sebanding dengan penderitaan yang ditanggung masyarakat lokal dan lingkungan. Konflik sosial dan kerusakan alam menjadi warisan yang memilukan.
Inilah ujian bagi kita semua—pemerintah, Muhammadiyah, organisasi profesi, LSM, dan setiap elemen masyarakat. Sudah saatnya kita bergerak dari kata-kata menuju aksi nyata. Mari wujudkan pengelolaan SDA yang efektif dan berkelanjutan, yang tidak hanya mengejar keuntungan materi, tetapi terutama memuliakan hak manusia dan menjaga keselamatan lingkungan. Karena kesejahteraan rakyat adalah hak, bukan belas kasihan.






