Tan Malaka: Maha Guru yang Memerdekakan Pemikiran

  • Whatsapp

Oleh: Ferizal Ridwan
Ketua Yayasan IBRATAMA
(Membumikan Pemikiran MADILOG)

Dalam sejarah Indonesia, nama Tan Malaka kerap dikenang sebagai revolusioner, pemikir, dan tokoh pergerakan. Namun, satu peran penting yang sering terabaikan adalah Tan Malaka sebagai seorang guru—sosok pendidik yang memandang kelas bukan sekadar ruang belajar, melainkan arena pembebasan. Pemikiran yang lahir hampir seabad lalu itu tetap relevan hingga kini, terutama jika kita mencermati kondisi pendidikan Indonesia saat ini.

Read More

Bagi Tan Malaka, pendidikan tidak boleh berhenti pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Ia melihat sekolah sebagai tempat membentuk manusia merdeka, manusia yang mampu berpikir kritis, mempertanyakan otoritas, dan mengambil keputusan berdasarkan nalar. Ia menolak pola pendidikan yang menumpulkan keberanian murid untuk bertanya.

Kondisi pendidikan Indonesia hari ini menunjukkan bahwa banyak sekolah masih berorientasi pada hafalan dan kurikulum yang kaku. Dalam pandangan Tan Malaka, pendidikan semacam itu hanya melahirkan kerumunan yang patuh, bukan warga negara yang sadar, kritis, dan bertanggung jawab. Pemikirannya mengingatkan kita akan pentingnya mengembalikan pendidikan pada tujuan dasarnya: memerdekakan pikiran.

Pengalaman mengajar Tan Malaka di berbagai tempat—dari Deli, Filipina, hingga Cina—membentuk keyakinannya bahwa guru adalah bagian dari barisan pelopor perubahan sosial. Guru bukan mesin birokrasi; guru adalah pembentuk karakter bangsa. Ia membekali murid dengan bacaan-bacaan alternatif, bukan untuk mendorong pemberontakan buta, tetapi agar mereka memahami dunia dari beragam sudut pandang. Dengan cara itu, guru menjadi jembatan antara realitas dan kemungkinan yang lebih besar dalam hidup.

Di Indonesia saat ini, guru sering dibebani administrasi yang berat sehingga waktu untuk menumbuhkan imajinasi dan minat belajar murid menjadi terbatas. Pemikiran Tan Malaka menawarkan koreksi: guru harus kembali menjadi pencerah, bukan sekadar pengisi laporan.

Kontribusi terbesar Tan Malaka dalam bidang pemikiran adalah Madilog, sebuah upaya merumuskan cara berpikir ilmiah bagi bangsa Indonesia. Ia mengkritik dominasi takhayul dan dogma yang menghambat kemajuan. Menurutnya, rakyat harus dilatih berpikir berdasarkan realitas material, perubahan dialektis, dan logika yang ketat.

Di tengah derasnya arus informasi, maraknya hoaks, serta mudahnya masyarakat terpancing provokasi emosional, pesan Tan Malaka terasa semakin penting. Pendidikan Indonesia membutuhkan penguatan literasi kritis dan kemampuan berpikir rasional agar masyarakat tidak mudah digiring kepentingan tertentu. Madilog menjadi pengingat bahwa ilmu pengetahuan adalah senjata peradaban, bukan sekadar isi buku pelajaran.

Tan Malaka juga menegaskan bahwa pendidikan harus berakar pada kebutuhan rakyat, bukan sekadar memenuhi tuntutan pasar atau kepentingan politik. Ia menginginkan sekolah sebagai alat mobilitas sosial, bukan arena yang memperlebar ketimpangan.

Hingga kini, akses pendidikan di Indonesia masih timpang antara daerah kaya dan miskin, serta antara kota dan desa. Semangat Tan Malaka menuntut pembenahan struktural: pemerataan fasilitas, peningkatan kualitas guru, serta kebijakan yang benar-benar berpihak pada anak-anak dari keluarga biasa.

Salah satu ungkapannya yang paling terkenal, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat,” menggambarkan etos pribadi Tan Malaka: perpaduan kecerdasan, integritas, dan ketajaman membaca situasi. Etos ini bukan hanya pedoman hidup seorang pejuang, tetapi juga cermin bagi guru dan pelajar Indonesia hari ini. Ia mengajarkan bahwa kemajuan bangsa hanya mungkin lahir dari manusia yang terus belajar, berani berpihak pada kebenaran, dan adaptif terhadap perubahan.

Seandainya Tan Malaka hadir di ruang-ruang kelas Indonesia saat ini, ia barangkali tidak hanya mengajar dengan papan tulis, tetapi juga dengan keberanian moral. Ia akan mendorong murid untuk berpikir sendiri, mencintai kebenaran, dan memahami realitas bangsanya.

Indonesia hari ini membutuhkan lebih banyak guru yang membawa semangat itu—guru yang bukan sekadar pengajar, tetapi penggerak kesadaran bangsa. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, warisan Tan Malaka sebagai guru tetap menyala: bahwa pendidikan adalah fondasi kemerdekaan, dan kemerdekaan sejati selalu dimulai dari cara kita berpikir. (*)

Pandam Gadang, Suliki – November 2025

Related posts