MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Malam itu, langit Siteba berwarna jingga. Bukan karena senja, melainkan kobaran api yang melahap empat bangunan di Jalan Berok Raya, Kelurahan Surau Gadang, Kecamatan Nanggalo. Senin malam (8/12/2025), pukul 21.00 WIB, alarm bahaya berbunyi di Dinas Pemadam Kebakaran Kota Padang.
Hanya dalam hitungan menit, armada pertama meluncur ke lokasi. Gang-gang sempit di kawasan padat penduduk menjadi medan perjuangan 90 personel dari Pleton C yang berjibaku dengan si jago merah. Delapan unit mobil pemadam dikuatkan, selang-selang air diseret menembus lorong-lorong rumah warga yang berdesakan.
“Kami berpacu dengan waktu. Akses jalan yang sempit membuat kami harus bekerja ekstra keras,” ungkap Rinaldi, Kepala Bidang Operasi dan Sarana Prasarana Damkar Kota Padang, mengenang ketegangan malam itu.
Dalam waktu satu jam, pertempuran melawan api berakhir. Tapi yang tersisa hanyalah puing-puing hangus seluas 300 meter persegi. Tiga warung milik Erviandi (50), Anang (37), dan Elli (70) lenyap. Satu rumah tinggal rata dengan tanah. Kerugian mencapai Rp700 juta—angka yang tak mampu menggambarkan kehilangan sebenarnya.
Namun di balik kepedihan itu, ada secercah harapan. Tindakan cepat petugas menyelamatkan enam rumah dan satu masjid di area seluas 1.500 meter persegi dari ancaman jilatan api.
Sementara abu masih mengepul, di Masjid Al-Munawwarah, seorang tokoh spiritual tengah merenungkan nasib jemaahnya. Buya H. Mas’oed Abidin, Ketua Umum Masjid Al-Munawwarah, segera menggerakkan seluruh elemen masjid begitu mendengar kabar kebakaran.
Bagi Buya Mas’oed, ini bukan sekadar bencana biasa. Ini adalah ujian bagi masjid untuk membuktikan esensi sejatinya.
“Yang harus dibangun dulu dari masjid bukan bangunannya, tapi jemaahnya,” ujar Buya Mas’oed dengan tegas, filosofi yang selama ini menjadi pedoman hidupnya. “Bagaimana pun, korban kebakaran ini adalah jemaah masjid. Sudah sepatutnya masjid bertanggung jawab.”
Kata-kata sederhana itu merangkum visi seorang pemimpin spiritual yang tidak pernah menempatkan dirinya di atas kepentingan umatnya. Bagi Buya Mas’oed, masjid bukan hanya tempat shalat dengan kubah megah dan dinding mewah. Masjid adalah rumah bagi setiap jiwa yang membutuhkan, pelindung bagi setiap keluarga yang kesusahan, dan lengan yang merangkul ketika dunia terasa begitu keras.
“Beliau selalu mengajarkan kepada kami bahwa masjid hidup bukan karena bangunannya indah, tapi karena jemaahnya sejahtera,” ungkap Haji Sofwan Candra, Ketua Bidang Sosial Masjid Al-Munawwarah yang mewakili Buya Mas’oed dalam penyaluran bantuan. “Apa gunanya masjid berdiri megah jika jemaahnya tergeletak kesusahan?”
Belum kering air mata para korban, sebuah rombongan datang membawa kehangatan. Majelis Taklim Indonesia (MTI) Muslimat Masjid Al Munawwarah, dipimpin Martina Yusir, hadir dengan tangan terbuka dan hati yang penuh empati—mewujudkan amanat dari Buya Mas’oed yang terus berpikir tentang jemaah, bukan dirinya sendiri.
Sembilan korban kebakaran menerima bantuan uang tunai dan sembako. Tapi lebih dari sekadar materi, yang mereka rasakan adalah pelukan kemanusiaan di saat yang paling rapuh.
“Kami merasakan kesedihan yang mendalam melihat kondisi saudara-saudara kita,” ujar Martina dengan suara bergetar, sementara tangannya menggenggam tangan seorang ibu korban yang masih terduduk lemas. “Sebagai keluarga besar MTI, kami tidak bisa tinggal diam. Ini adalah amanat dari Buya Mas’oed—masjid harus hadir untuk jemaahnya.”
Martina berjalan dari satu korban ke korban lainnya, menyapa, mendengarkan, dan memberikan penghiburan. Ia tahu bahwa uang dan sembako yang dibagikan tak akan pernah bisa mengganti rumah yang hangus atau kenangan yang terbakar. Namun di mata para korban, kehadiran mereka adalah wujud nyata dari ajaran Buya Mas’oed: masjid yang bertanggung jawab.
“Ini bukan akhir dari kepedulian kami,” lanjut Martina dengan tegas. “Kami akan terus memantau kondisi mereka dan siap memberikan bantuan lanjutan. Seperti yang selalu Buya Mas’oed ajarkan—jemaah adalah prioritas. Mari kita saling menguatkan di masa sulit ini.”
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering melupakan esensi kemanusiaan, sosok Buya H. Mas’oed Abidin menjadi pengingat tentang apa arti kepemimpinan sejati. Beliau tidak pernah sibuk dengan kemegahan fisik masjid ketika jemaahnya tengah berduka. Beliau tidak pernah memprioritaskan pembangunan gedung ketika ada jiwa-jiwa yang perlu diselamatkan.
“Buya selalu bilang, kalau ada jemaah yang susah, itu tanggung jawab kita bersama. Masjid bukan hanya tempat kita meminta kepada Allah, tapi juga tempat kita menjadi jawaban doa orang lain,” tutur Ketua bidang sosial Haji Sofwan Candra, yang hadir bersama Martina Yusir dan para anggota MTI lainnya.
Filosofi ini bukan sekadar retorika. Ia terwujud nyata dalam setiap langkah cepat MTI Muslimat yang turun ke lokasi kebakaran, dalam setiap paket sembako yang diserahkan, dalam setiap uluran tangan yang menghibur. Semua itu adalah perpanjangan tangan Buya Mas’oed yang terus berpikir tentang jemaah, bahkan ketika beliau tidak bisa hadir secara fisik.
Malam kebakaran di Siteba mencatat dua kisah: kehancuran dan kemanusiaan. Api memang mengambil segalanya, tapi ia juga menyatukan hati. Di tengah abu dan puing, hadir tangan-tangan yang mengulur pertolongan—tangan yang digerakkan oleh filosofi sederhana namun mendalam dari seorang pemimpin spiritual yang memahami bahwa masjid sejati adalah masjid yang memanusiakan manusia.
Para korban kini tinggal di tempat pengungsian sementara, mencoba merangkai kembali hidup dari nol. Dan di sisi mereka, keluarga besar MTI Muslimat Masjid Al Munawwarah berdiri tegak, siap menemani perjalanan pemulihan yang panjang—sebuah komitmen yang lahir dari ajaran Buya Mas’oed Abidin tentang tanggung jawab masjid terhadap jemaahnya.
Karena kebersamaan, bukan sekadar kata. Ia adalah tindakan nyata di saat yang paling dibutuhkan. Dan seperti yang selalu Buya Mas’oed ajarkan: masjid yang hidup adalah masjid yang membangun jemaahnya, bukan hanya dindingnya.
“Inilah masjid yang sesungguhnya,” bisik seorang korban kebakaran sambil mengusap air matanya. “Masjid yang tidak melupakan kami.”






