MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, Lc., MA., menyampaikan pandangan kritis dan penuh keprihatinan terhadap arah pengelolaan haji di Indonesia dalam forum bersama para pejabat dan tokoh keumatan.
Dalam sambutannya yang lugas dan penuh kedalaman, Buya Gusrizal menyampaikan bahwa pengelolaan haji bukan semata soal teknis atau ekonomi, melainkan amanah suci yang menyangkut dimensi keikhlasan, kejujuran, dan pengabdian terhadap umat.
“Jangan sampai tiap ganti menteri, berubah pula kebijakannya. Harus ada prinsip dasar yang dijadikan rujukan tetap. Saya tawarkan tiga prinsip utama: jujur, bersama, dan tidak mengorbankan ibadah demi ekonomi,” tegas Buya Gusrizal.
Buya Gusrizal menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana haji. Ia mengkritisi praktik-praktik pengelolaan dana jamaah yang dipaksakan melalui akad wakalah yang menurutnya tidak memenuhi prinsip syariah.
“Kalau wakalah itu tidak diberikan secara sukarela, itu bukan akad sah. Jangan sampai umat dipaksa tanda tangan agar bisa dapat porsi. Itu bentuk ketidakjujuran yang fatal,” ujar beliau.
Ia juga mengingatkan bahwa umat kini sangat sadar terhadap berbagai ketidakberesan, namun tak memiliki saluran resmi untuk menyampaikan aspirasi. Akibatnya, kekecewaan menumpuk dan menciptakan jarak emosional antara umat dan negara.
Ketua MUI Sumbar ini juga menyuarakan kegelisahan tentang kurangnya pelibatan tokoh umat dan ormas Islam dalam perumusan kebijakan strategis haji.
“Kementerian tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada kebersamaan. Dulu kita pernah duduk bersama dalam muzakarah-muzakarah. Tapi sekarang banyak tokoh yang dikritik justru dijauhkan,” kata Buya Dr. Gusrizal.
Ia mengingatkan bahwa pembinaan nilai keagamaan dan budaya haji yang membentuk peradaban tidak cukup dilakukan oleh kementerian saja. Perlu peran semua komponen umat.
“Apakah selesai hanya dengan kementerian? Tidak. Semua tokoh, ormas, dan lembaga umat harus dilibatkan dalam membangun budaya dan peradaban haji yang mabrur,” ujarnya.
Buya Gusrizal menyampaikan kegelisahan terhadap kebijakan pendaftaran haji sepanjang tahun tanpa batas yang justru merugikan umat. Ia menyinggung ketidakadilan bagi calon jamaah yang mendaftar lebih awal namun tergeser oleh kriteria seleksi baru.
“Ada yang mendaftar umur 50, berangkat umur 75. Apakah pengelolaan seperti itu mempertimbangkan aspek ibadah? Ini bentuk kezaliman terhadap umat yang lebih dahulu mendaftar,” ucapnya.
Beliau juga menyinggung ayat Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 198 sebagai pengingat bahwa aspek ekonomi dalam haji memang ada, namun tidak boleh menyingkirkan aspek ubudiyah.
“Haji memang punya sisi ekonomi, tapi jangan sampai nilai ibadahnya dikorbankan. Kalau ubudiyah dikorbankan demi investasi, itu bukan lagi berkah tapi bisa jadi musibah,” tegasnya.
Buya Dr. Gusrizal menutup dengan seruan agar pengelolaan haji kembali pada nilai-nilai luhur: kejujuran, kebersamaan, dan ketulusan dalam melayani umat. Ia berharap ke depan tidak ada lagi intervensi politik terhadap lembaga-lembaga keumatan, serta membuka ruang dialog yang sehat dan konstruktif.
“Kami tidak mengkritik untuk menjatuhkan, tapi demi islah (perbaikan). Semua demi kemaslahatan umat. Kalau tidak ada kejujuran dan keterbukaan, bagaimana umat bisa merasa dilayani oleh negara mereka sendiri?” pungkas Buya Gusrizal.






