Tipe Kepemimpinan Jawa dan Melayu

  • Whatsapp

Nama : Hellen Berlian Putri
NIM : 2110742039
Mahasiswi Sastra Minangkabau, Universitas Andalas

Kepemimpinan secara etimologi yang mempunyai makna cara memimpin atau kualitas seseorang pemimpin atau upaya dan tindakan dalam memimpin. Kepemimpinan secara terminologi memiliki arti tentang bagaimana mempengaruhi orang lain, bawahan atau pengikut agar mau mencapai tujuan yang diinginkan sang pemimpin.

Sedangkan tipe kepemimpinan berarti bagaimana cara seseorang dalam memimpin orang lain atau metode yang dipakai seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan atau pengikutnya.

Tipe kepemimpinan ini digunakan oleh seorang pemimpin dalam memimpin suatu kelompok, contohnya dalam lingkup besar seperti presiden, atau petinggi-petinggi suatu negara dan organisasi, para pemimpin pasti mempunyai gaya atau metode mereka dalam memimpin, tipe tipe kepemimpinan yang paling umum atau biasa digunakan yaitu demokratis, autokratis, transformasional, transaksional, dan laissez-faire.

1. Tipe demokratis adalah gaya kepemimpinan dengan cara seorang pemimpin mengikut sertakan seluruh anggotanya atau yang dipimpin dalam mencapai suatu tujuan, sumua anggota tim diberikan hak dalam mengambil keputusan.

2. Tipe autokratis adalah gaya kepemimpinan yang berkebalikan dengan gaya demokratis, pemimpin dengan tipe ini tidak melibatkan anggotanya dalam mengambil keputusan, pemimpin hanya memutuskan segala sesuatu sendiri.

3. Tipe transformasional adalah gaya kepemimpinan yang ingin melakukan perubahan dan peningkatan, seperti peningkatan kebudayaan dab juga ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

4. Tipe transaksional adalah gaya kepemimpinan yang tidak ingin mengubah keadaan yang stabil,dan tidak terlalu mengekspresikan kreativitas anggota dan hanya berfokus kepada kerja mereka pada semestinya.

5. Tipe laissez-faire adalah gaya kepemimpinan yang pemimpinnya meminta bantuan kepada anggotanya untuk memimpin.
Seorang pemimpin memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menggerakan, mengarahkan, dan menuntun, memberi motifasi serta mendorong orang orang yang dipimpinnya.

Dari banyaknya metode kepemimpinan diatas, tipe kepemimpinan yang akan dibahas dibawah ini adalah tipe kepemimpinan yang ada di jawa dan melayu menurut babad dan hikayat, kedua nya juga memiliki metode kepemimpinan yang hampir sama berikut penjelasannya :

terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara sistem kekuasaan di Jawa dan Melayu namun,
dalam konteks kepemimpinan, keduanya memiliki kemiripan. Babad maupun hikayat telah memberikan citra kepada penguasa sebagai sosok yang kharismatik. Citra lain adalah memiliki kesaktian, kekuatan mistik, dan kekuatan religius. Kekuatan-kekuatan tersebut melekat secara genealogis sehingga penguasa di masa lalu dan para keturunannya dikultuskan karena seolah-olah hadir sebagai juru selamat.

Kekuasaan suatu realitas yang benar-benar ada. Kekuasaan adalah daya bersifat ketuhanan yang menghidupkan seluruh alam semesta (Anderson,1986: 51). Karena ditempatkan dalam posisi seperti itu, kekuasaan cenderung menjadi tak terbagi dan absolut.

Terjadilah kemudian pengagungan kekuasaan disertai dengan legitimasi genealogis yang biasanya menyatakan bahwa sang penguasa adalah sosok yang paling tepat sebagai pemegang kekuasaan. Sehubungan dengan itu, ia tidak dapat dipertanyakan dan ucapannya mempunyai kekuatan mengikat, menekan secara moral dan etis karena (sabda pendeta, ucapan raja, hanya terjadi satu kali), sehingga barang siapa mencoba menentangnya akan dihancurkan dan ditiadakan dengan kekerasan.

Mistifikasi dan Pengagungan Kekuasaan dalam Babad Tanah Jawi (BTJ)
Sultan Agung adalah raja terbesar yang pernah dimiliki oleh dinasti Mataram. BTJ melukiskannya sebagai seorang raja yang adil, pemurah, sakti, dan di bawah pemerintahannya Mataram mengalami masa kejayaan
Sepeninggal Sultan Agung, tahta Mataram diduduki oleh Sunan Amangkurat Tegalwangi. Berbeda dengan ayahnya, Amangkurat tidak memiliki wawasan teritorial yang cemerlang.

Konflik dengan Pangeran Alit mengenai keabsahan tahta yang diduduki berakibat terbunuhnya Pangeran Alit bersama dengan sekitar lima ribu sampai dengan enam ribu ulama pendukungnya.

Ia memerintah orang-orang kepercayaannya menyeret beberapa ulama yang tidak turut terbunuh,disuruh mengakui bahwa mereka mendalangi aksi tersebut. Karena tidak memiliki pilihan lain, orang- orang itu mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan.

Mendengar pengakuan mereka, dengan amarah yang meledak, sunan memerintah orang-orang kepercayaannya membunuh orang-orang tidak bersalah itu beserta anggota keluarganya.
Di samping itu, pejabat istana yang diduga terlibat juga turut dibunuh.
Pada kesempatan yang lain, raja yang haus kekuasaan ini dengan sengaja menggunduli rambutnya. Perbuatannya itu diumumkan ke seluruh negeri agar diikuti oleh setiap orang.

Beberapa hari sesudah itu, pengawal atau para algojo akan berkeliling ke seluruh negeri. jika mereka menemukan seseorang yang telah berusia di atas 16 tahun tidak menggunduli rambutnya, mereka akan dihukum dengan sangat sadisoleh para pengawal atau para algojo.

Mistifikasi dan Pengagungan Kekuasaan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai (HRRP) dan Hikayat Hang Tuah (HHT)
Doktrin tentang loyalitas dan pantang durhaka terhadap raja juga merupakan bagian yang penting dalam HHT.

Pada bagian awal HHT, secara eksplisit, disebutkan “jiwa” keseluruhan teks HHT:

Oleh karena itu, siksaan juga dilakukan pada periode pascamerta (posthumous) (lihat Foucault, 1977: 34) : hati Truna Jaya dipotong kecil-kecil dan dimakan beramai-ramai; kepalanya dijadikan sebagai alas membersihkan kaki sebelum tidur untuk kemudian dihancurkan dalam lumpang batu; mayat Hang Jebat dipamerkan kepada publik selama tujuh hari kemudian digantung di tengah jalan raya.

Kesimpulan persamaan babad dan hikayat
baik babad maupun hikayat mencitrakan penguasa sebagai seorang penguasa yang memiliki wewenang karismatis. Wewenang ini melekat pada seorang penguasa (raja/sultan) karena yang bersangkutan dianggap memiliki kesaktian, kekuatan mistik, dan kekuatan religius.

Apabila para pemimpin sekarang berkaca pada tipe kepemimpinan yang dicontohkan oleh para penguasa diatas, maka kita aka berkaca pada kaca yang retak, tidak ada pembagian kekuasaan yang adil.

Pembagian kekuasaan hanya dilakukan untuk memenuhi tuntutan kelengkapan struktur birokrasi, tetapi tidak fungsional. Raja/Sultan tampil sebagai sosok adidaya yang tidak boleh disanggah. Kepemimpinannya bersifar otoritarian.

Musyawarah untuk mufakat tidak dilembagakan dan kebebasan menyampaikan pendapat menjadi mampat.

Tampaknya, yang diperlukan adalah pemimpin antihero yang jujur, santun, dan adil, tetapi tegas, tegar, dan cerdas, bukan Ratu Adil yang diharapkan segara akan mendatangkan perubahan di segala bidang. Tokoh-tokoh antihero tidak memerlukan pencitraan karena citra itu akan terbangun melalui kepercayaan yang diberikan masyarakat.

Ia tidak perlu tebar pesona. Keikhlasannya dalam menjalankan amanat rakyat menjadikan ia bisa setegar cadas. Ketegarannya itu akan menjadikannya tidak mudah dipengaruhi karena pemimpin seperti ini berpijak pada daulat rakyat dan berpegang erat pada daulat hukum.

Related posts