Oleh: Rahmat Ilahi, SH, S. Kom Wakil Ketua PWPM Sumbar
Dalam dinamika kehidupan berbangsa yang majemuk, toleransi antarumat beragama adalah fondasi penting bagi keutuhan sosial. Namun dalam beberapa waktu terakhir, muncul kembali sejumlah insiden yang mengganggu harmoni tersebut. Seperti yang terjadi di Padang Sarai, Kota Padang, ketika sebuah rumah kontrakan diduga disulap menjadi tempat ibadah tanpa komunikasi yang layak dengan masyarakat sekitar. Kejadian ini menimbulkan ketegangan, bahkan kecaman, karena dianggap melanggar etika bertetangga dan melampaui batas-batas kewajaran.
Penting untuk kita pahami bahwa kebebasan beragama adalah hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945. Umat Islam di Indonesia pun berpegang teguh pada prinsip ini. Namun dalam pelaksanaannya, hak tersebut tidak berdiri sendiri. Ia harus berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial dan penghormatan terhadap norma-norma masyarakat tempat hak itu diwujudkan. Maka dari itu, membangun rumah ibadah, terutama di kawasan pemukiman padat, tidak bisa dilakukan secara sepihak. Harus ada dialog, musyawarah, dan pendekatan yang santun kepada masyarakat setempat.
IMB dan Etika Kehidupan Sosial
Setiap pembangunan rumah ibadah, baik masjid, gereja, vihara, maupun pura, seyogianya tetap mengindahkan ketentuan hukum dan administratif yang berlaku. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, menegaskan pentingnya syarat administratif dan persetujuan warga setempat untuk mendirikan rumah ibadah. Ini bukan bentuk diskriminasi, tetapi mekanisme demokratis untuk menjaga harmoni sosial.
Umat Islam pun ketika hendak membangun masjid atau mushalla selalu melalui prosedur panjang, mulai dari izin lingkungan, pengumpulan tanda tangan warga, hingga rekomendasi tokoh masyarakat. Prinsipnya adalah tasāmuh (toleransi), ta’āwun (kerja sama), dan mu’āsyarah bil ma’ruf (pergaulan sosial yang baik). Bila umat Islam menghormati aturan, maka kita pun berharap semua pemeluk agama lain juga menunjukkan sikap serupa.
Cerdas Membangun Komunikasi Sosial
Kita tidak ingin insiden-insiden seperti di Sukabumi atau Padang Sarai terus terulang. Salah satu kuncinya adalah komunikasi yang sehat dengan masyarakat sekitar. Jangan bersikap diam-diam, seolah menyembunyikan aktivitas ibadah, lalu menyalahkan masyarakat saat terjadi penolakan. Jika hendak mengundang jemaat dari luar daerah, sangat bijak bila pihak penyelenggara menyampaikan pemberitahuan kepada RT/RW atau tokoh masyarakat. Ini bukan soal izin beribadah, tetapi soal membangun kepercayaan dan menjunjung tinggi ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan).
Sikap muhtaram (saling menghormati) terhadap adat dan budaya setempat juga harus dijaga. Di Minangkabau, dikenal falsafah “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yang mengakar dalam kehidupan masyarakat. Maka menghargai adat adalah bagian dari menghargai keharmonisan sosial. Jangan sampai masyarakat merasa kedaulatan sosial mereka dilangkahi oleh praktik-praktik keagamaan yang tidak disosialisasikan dengan baik.
Toleransi Bukan Pembiaran, tapi Keseimbangan
Toleransi dalam Islam bukanlah pembiaran yang pasif, melainkan keterbukaan yang disertai tanggung jawab. Rasulullah ﷺ mengajarkan umatnya untuk hidup damai berdampingan dengan orang Yahudi, Nasrani, bahkan kaum musyrikin di Madinah, selama tidak ada penghinaan terhadap agama dan tidak mengganggu ketertiban umum. Namun, beliau juga meletakkan syarat yang jelas tentang hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama.
Dalam konteks kekinian, umat Islam sebagai mayoritas tetap dituntut untuk menunjukkan akhlak mulia, tidak mudah terprovokasi, dan selalu mengedepankan hukum serta musyawarah dalam menyikapi perbedaan. Namun pada saat yang sama, kelompok minoritas pun harus menunjukkan komitmen untuk menjadi warga negara yang baik, yang memahami sensitivitas sosial dan tidak memaksakan agenda dengan dalih kebebasan mutlak.
Menjaga Harmoni Lewat Adab dan Keadilan
Menjaga rumah ibadah bukan sekadar menjaga bangunan fisik, melainkan menjaga marwah kemanusiaan dan keutuhan bangsa. Oleh karena itu, negara tidak boleh membiarkan munculnya rumah doa yang tidak dikenal dalam nomenklatur Kemenag bahkan melalui prosedur legal yang jelas, tanpa sosialisasi yang baik, dan tanpa etika sosial yang sehat.
Umat Islam meyakini bahwa dakwah yang benar bukanlah yang memaksakan kehendak, melainkan yang maw’izah hasanah (nasihat penuh hikmah). Demikian pula dalam pergaulan antarumat beragama: siapa pun yang ingin hidup bersama dalam damai harus memulai dengan kesadaran, kepekaan, dan kesantunan sosial.
Marilah kita wujudkan semangat ukhuwah insaniyah, persaudaraan kemanusiaan yang berdiri di atas keadilan, etika, dan kearifan lokal. Jangan biarkan semangat toleransi berubah menjadi alat politisasi. Jangan pula menjadikan rumah ibadah sebagai titik gesekan. Rumah ibadah harus tetap menjadi rumah damai—bukan hanya karena hukumnya, tetapi juga karena adab dan akhlak warganya.




