MINANGKABAUNEWS.com, BUKITTINGGI – Ketua Umum MUI Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, dalam kajian di Surau Buya Gusrizal menekankan pentingnya memahami bulan Sya’ban dengan benar. Terutama, ia membahas mengenai amalan yang sering dilakukan pada pertengahan bulan ini atau Nisfu Sya’ban. Kajian tersebut disampaikan sebagai tanggapan atas banyaknya pertanyaan dari jemaah yang muncul setiap tahun menjelang Ramadan.
Dalam ceramahnya, Buya Dr. Gusrizal menyoroti maraknya penyebaran informasi keagamaan yang tidak selalu memiliki landasan keilmuan yang kuat. “Sering kali orang membagikan informasi di media sosial tanpa melakukan verifikasi atau merujuk kepada ulama. Padahal, dalam Islam, setiap amalan harus memiliki dasar yang jelas,” ujarnya.
Buya Gusrizal menjelaskan bahwa dalam Islam, jumlah bulan telah ditetapkan sebanyak 12 dalam firman Allah di Surah At-Taubah ayat 36. Berbeda dengan kalender Masehi yang awalnya hanya memiliki 10 bulan sebelum akhirnya ditambah menjadi 12 dengan memasukkan bulan Julius (Juli) dan Augustus (Agustus) atas perintah Kaisar Romawi.
Ia juga mengulas sejarah kalender Hijriah, yang baru secara resmi ditetapkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini berawal dari surat yang dikirimkan oleh Abu Musa al-Asy’ari kepada Umar, yang meminta kejelasan mengenai penanggalan karena dalam surat yang diterimanya hanya tertulis “Sya’ban” tanpa ada keterangan tahun. Akhirnya, para sahabat bermusyawarah dan sepakat menggunakan tahun hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ sebagai dasar perhitungan kalender Islam.
Karena sistem tahun dalam Islam baru ditetapkan setelah masa Rasulullah ﷺ, maka tidak ada ketentuan khusus dari Nabi mengenai amalan tertentu untuk menyambut awal atau akhir tahun. “Menisbahkan suatu amalan kepada Rasulullah ﷺ tanpa dalil yang sahih adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam Islam,” tegasnya.
Terkait dengan bulan Sya’ban, Buya Gusrizal mengingatkan bahwa setiap bulan dalam Islam memiliki nilai tersendiri, tetapi tidak boleh ada anggapan bahwa ibadah hanya dikhususkan pada bulan-bulan tertentu. “Setiap waktu dalam hidup seorang Muslim harus digunakan untuk beribadah kepada Allah. Tidak boleh ada pemahaman bahwa ada bulan yang dikhususkan untuk ibadah, sementara bulan lainnya diabaikan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan agar umat Islam tidak hanya giat beribadah di bulan Ramadan, lalu kembali lalai setelahnya. “Jangan jadikan Ramadan sebagai satu-satunya momen untuk mendekat kepada Allah, lalu setelah Idul Fitri kembali terjerumus dalam kelalaian. Pemahaman semacam ini keliru,” tambahnya.
Mengutip Surah Al-Mu’minun ayat 115, ia menegaskan bahwa manusia diciptakan bukan untuk bermain-main, melainkan untuk beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya memanfaatkan setiap kesempatan dalam hidupnya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, tanpa terikat oleh bulan atau momen tertentu.
Menutup kajiannya, Buya Dr. Gusrizal mengajak umat untuk lebih selektif dalam menerima dan menyebarkan informasi keagamaan, serta selalu merujuk kepada sumber-sumber yang terpercaya.
“Semangat beribadah harus terus dipelihara, tetapi harus sesuai dengan tuntunan syariat agar tidak terjerumus dalam amalan yang tidak berdasar,” pungkasnya.






