MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Detik-detik itu sungguh tak terduga. Suasana perayaan Milad ke-113 Muhammadiyah yang semula khidmat dan penuh suka cita, tiba-tiba berubah tegang. Hembusan napas para hadirin seakan terhenti ketika Wakil Wali Kota Padang, H. Maigus Nasir, mengangkat ponselnya dan mulai membacakan data yang membuat hati berguncang.
Di hadapan ratusan tokoh, guru, pengurus, dan undangan Muhammadiyah—termasuk mereka yang selama ini mendedikasikan hidup untuk pendidikan Islam—Wawako Maigus membuka fakta yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
“Saya buka hape saya, cek data real-time,” ujarnya dengan nada tegas namun penuh keprihatinan. Semua mata tertuju pada layar ponsel yang ia pegang. “Ini faktanya.”
Dan fakta itu… sungguh menampar keras.
Di SMP Muhammadiyah 5 Padang, dari total 426 siswa yang terdaftar, hanya tiga orang—ya, hanya tiga—yang tercatat mengikuti sholat Subuh berjemaah. Bukan puluhan. Bukan ratusan. Hanya tiga.
Ruangan langsung hening. Tak ada yang berani bersuara. Tatapan tak percaya, kecewa, bahkan malu bercampur aduk di wajah para hadirin.
Maigus tak berhenti di situ. Ia terus mengabsen sekolah-sekolah Muhammadiyah lainnya di Padang. Dan hasilnya? Nyaris sama. Angka kehadiran sholat Subuh berjemaah siswa jauh dari harapan—bahkan jauh dari layak.
Data ini bukan sekadar tebakan atau estimasi. Ini adalah data digital yang terekam secara otomatis melalui aplikasi Smart Surau, program unggulan Pemkot Padang yang memantau partisipasi keagamaan masyarakat lewat sistem QR code. Setiap kali seseorang hadir di surau atau masjid untuk sholat berjamaah, kehadirannya tercatat secara real-time.
“Indikator keberhasilan seorang kepala sekolah, salah satunya adalah kemampuan mendorong partisipasi siswa dalam program Smart Surau hingga di atas 90 persen,” tegas Maigus.
Namun kenyataannya? Angka yang terungkap bahkan belum menyentuh 1 persen.
Kejadian ini langsung menjadi perbincangan hangat. Bagaimana mungkin sekolah yang mengusung nama dan bendera Muhammadiyah—organisasi Islam yang dikenal gigih memperjuangkan pemurnian ajaran dan kedisiplinan beribadah—justru siswanya absen dari salah satu kewajiban paling mendasar dalam Islam?
Pertanyaan besar pun menggantung: apakah ini soal sistem pendidikan, peran orang tua, atau budaya keagamaan yang sudah memudar di kalangan generasi muda?
Yang pasti, data yang dibongkar Wawako Maigus Nasir di momen perayaan Milad Muhammadiyah itu bukan sekadar angka. Itu adalah cermin. Cermin yang memaksa kita semua untuk melihat kembali: sejauh mana kita benar-benar menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak-anak kita?






