MINANGKABAUNEWS, NASIONAL — Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkap media sosial (medsos) disinyalir telah menjadi inkubator radikalisme, khususnya terhadap generasi muda bangsa. Persoalan mengenai radikalisme disebut sebagai salah satu ancaman nasional yang perlu mendapatkan perhatian bersama.
“Medsos disinyalir telah menjadi inkubator radikalisme, khususnya bagi generasi muda,” ungkap Deputi VII BIN, Wawan Hari Purwanto, dalam diskusi virtual yang diselenggarakan GMNI, sebagaimana dikutip dari akun Youtube Kabar Alumni GMNI, Rabu (16/6).
Dia mengatakan, kecenderungan itu semakin diperkuat dengan hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurut Wawan, di sana dikatakan sebanyak 85 persen generasi milenial rentan terpapar radikalisme.
“Kondisi ini patut menjadi perhatian bersama mengingat indonesia sedang menggadpai bonus demografi. Ini menjadi sebuah pedang bermata dua jika kita tidak pandai menatanya,” ujar Wawan.
Selain soal radikalisme, hal lain yang juga menjadi ancaman nasional ialah pandemi Covid-19. Dia menjelaskan, kasus Covid-19 di Indonesia kini termonitor fluktuatif, tapi cenderung menunjukkan tren peningkatan.
“Pelonjakan baru kasus Covid berpotensi mengancam keselamatan masyarakat, memperburuk resesi ekonomi, mengakibatkan lumpuhnya fasilitas-fasilitas kesehatan, terhambatnya pendidikan, dan gelombang pengangguran yang semakin masif,” kata dia.
Kemudian, ancaman nasional berikutnya ialah konflik SARA. Menurut Wawan, beberapa kasus SARA yang sering mengemuka, antara lain, sentimen keagamaan, konflik antaretnis, rasialisme terhadap etnis tertentu, situasi di Papua, maupun konlfik antara Syiah dan Sunni.
“Isu sensitif tersebut menjadi ancaman serius karena dapat menimbulkan konflik horizontal dan ini ada yang terus mengipas-ngipasi dengan berbagai berita hoaks,” kata dia menjelaskan.
Hoaks menjadi hal selanjutnya yang juga dia sebut perlu mendapat perhatian saksama, terlebih yang terkait isu SARA. Wawan menyatakan, penyebaran kabar bohong terkait isu sensitif tersebut akan berdampak luas karena sifat media sosial yang mampu menyebarkan informasi secara cepat.
“Karena bisa masuk langsung ke gadget-gadget publik. Kemudian, pengguna internet di Indonesia juga menukik tajam secara signifikan peningkatannya,” ujar Wawan menerangkan.
Lalu, dia menyebut, soal separatisme Papua. Wawan mengatakan, hal itu merupakan salah satu ancaman yang dapat menciptakan disintegrasi bangsa. Selain merongrong kewibawaan negara, kata dia, kelompok sparatisme terindikasi menjadi salah satu sumber konfik dan pembangunan di Papua.
“Dan, ini kita lakukan upaya-upaya penanganan secara komprehensif dan berkelanjutan tanpa menghambat upaya membangun Papua secara cepat supaya mengejar ketertinggalan dari provinsi lain,” tutur Wawan.
Selanjutnya, yakni serantan siber. Wawan mengungkapkan, ancaman siber menjadi hal yang sulit dihindari di tengah masifnya penetrasi internet. Apalagi, kata dia, pemahaman soal keamanan siber masyarakat Indonesia masih perlu terus dilakukan pembenahan.
“Sehingga terjadi kemudahan-kemudahan peretasan. Serangan hacker yang terus terjadi berpotensi menghambat digitalisasi ekonomi dan rentan memicu pesimisme publik terhadap program revolusi industri 4.0 yang saat ini terus diptimalkan pemerintah,” kata dia. (Rep)