MINANGKABAUNEWS.com, ARTIKEL — Boleh jadi tidak ada eksperimen politik dalam sejarah modern yang lebih berpengaruh ketimbang demokrasi Amerika Serikat. Ia dimulai dari perlawanan 13 koloni terhadap mahkota Inggris, lalu berevolusi menjadi sistem pemerintahan yang kini ditiru—atau setidaknya dijadikan rujukan—oleh puluhan negara di lima benua.
Perjalanan itu bukan tanpa guncangan. Dari Deklarasi Kemerdekaan yang digaungkan Thomas Jefferson pada 1776 hingga pengesahan Konstitusi 1789, Amerika merajut kerangka politik yang bertahan melewati perang saudara, dua perang dunia, resesi ekonomi, hingga polarisasi digital abad ke-21.
Robert Dahl, salah satu pemikir politik terkemuka abad ke-20, pernah menulis bahwa inti demokrasi adalah kebebasan rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri lewat keputusan kolektif yang mengikat—dengan semua warga ikut serta sebagai pihak yang setara. Di tanah Amerika, gagasan abstrak itu diwujudkan melalui arsitektur kelembagaan bernama checks and balances.
“Yang menarik dari sistem politik Amerika itu setiap lembaga saling mengawasi. Kekuasaan tidak mudah disalahgunakan begitu saja. Tapi kelemahannya juga nyata: sering macet karena Demokrat dan Republik makin sulit kompromi,” kata Widia Novika, mahasiswa Sastra Inggris, akhir Oktober lalu.
Dari Kegagalan Konfederasi ke Konstitusi yang Bertahan Dua Abad
Setelah meraih kemerdekaan dari Inggris, Amerika Serikat mencoba menjalankan pemerintahan berdasarkan Articles of Confederation (1781). Hasilnya mengecewakan. Pemerintah pusat terlalu lemah, negara bagian bertindak seperti kerajaan kecil, dan tak ada mekanisme untuk menagih pajak atau mengatur perdagangan antarnegara bagian.
Pada musim panas 1787, delegasi dari berbagai negara bagian berkumpul di Philadelphia. George Washington memimpin konvensi. James Madison membawa draf. Alexander Hamilton membawa ambisi. Dari ruang tertutup itu lahir Konstitusi Amerika Serikat—dokumen yang hingga hari ini masih menjadi hukum tertinggi negara tersebut.
Federalisme menjadi prinsip kunci: kekuasaan dibagi antara pemerintah federal dan negara bagian. Hasilnya? Paradoks yang unik. Amerika adalah satu negara, tapi hukum soal pendidikan, pernikahan, bahkan hukuman mati bisa sangat berbeda antara Texas dan California.
Tiga Kepala, Satu Tubuh: Separation of Powers
Konstitusi 1789 memecah kekuasaan menjadi tiga cabang yang terpisah namun saling bergantung. Presiden memimpin eksekutif. Kongres—terdiri dari Senat dan House of Representatives—menjalankan legislatif. Mahkamah Agung memegang yudikatif.
Presiden boleh memveto undang-undang, tapi Kongres bisa menolak veto itu dengan suara dua pertiga. Kongres bisa membuat undang-undang, tapi Mahkamah Agung bisa menyatakan undang-undang itu inkonstitusional. Presiden mengangkat hakim agung, tapi Senat harus menyetujuinya.
Sistem ini menghasilkan stabilitas luar biasa—Amerika tidak pernah mengalami kudeta militer. Tapi juga melahirkan kemacetan politik yang kronis, terutama ketika cabang-cabang kekuasaan dikuasai partai yang berbeda.
Dua Partai, Satu Panggung: Demokrat vs Republik
Pada awalnya, politik Amerika diwarnai persaingan antara Federalis yang dipimpin Alexander Hamilton dan Demokrat-Republik yang dipimpin Thomas Jefferson. Namun sejak pertengahan abad ke-19, panggung dikuasai dua kekuatan besar: Partai Demokrat dan Partai Republik.
Pemilihan presiden menggunakan sistem Electoral College—sebuah mekanisme yang kerap menuai kritik karena memungkinkan seorang kandidat memenangkan suara rakyat tapi kalah dalam pemilu.
“Menurut saya, sistem ini ada baiknya, tapi juga problematis. Suara rakyat tidak benar-benar menentukan karena yang memilih presiden adalah para elektoral, bukan rakyat secara langsung,” ujar Hawa Ramadhani, mahasiswa Penyuluhan Pertanian.
Sistem ini memang dirancang sebagai kompromi antara pemilihan langsung oleh rakyat dan pemilihan oleh Kongres. Tapi di era digital, ketika informasi mengalir tanpa batas, banyak yang mempertanyakan relevansinya.
Ancaman dari Dalam: Otoritarianisme Kompetitif
Steven Levitsky dan Kim Lane Scheppele, dua akademisi yang mempelajari krisis demokrasi global, menyebut bahwa ancaman terbesar bagi demokrasi Amerika saat ini bukanlah jenderal berkacamata hitam yang mengambil alih istana presiden.
Ancaman datang dari dalam: pemimpin terpilih yang secara sistematis melemahkan institusi demokrasi—menempatkan loyalis di posisi strategis, menekan media independen, mengikis otonomi universitas, dan mempolitisasi lembaga penegak hukum.
Demokrasi tetap ada di atas kertas. Pemilu tetap digelar. Tapi substansinya perlahan menguap.
Dari Washington ke Jakarta: Pengaruh Global yang Tak Terhindarkan
Amerika Serikat bukan hanya aktor utama di panggung domestik. Sistem politiknya menjadi model bagi puluhan negara yang baru merdeka pascaperang dunia. Kebijakan luar negerinya—dari perdagangan hingga perubahan iklim—langsung berdampak ke seluruh dunia.
“Amerika punya peran sebagai negara adidaya. Keputusan politiknya langsung memengaruhi dinamika internasional,” kata Deva Vega Maharani Putri, mahasiswa Antropologi.
Itulah sebabnya setiap kali Amerika Serikat menggelar pemilu, dunia ikut menahan napas. Siapa yang duduk di Gedung Putih menentukan arah perang dagang, komitmen terhadap perjanjian iklim Paris, bahkan sikap terhadap konflik di Timur Tengah atau Ukraina.
Epilog: Demokrasi yang Tidak Pernah Selesai
Sejarah politik Amerika adalah narasi panjang tentang pencarian bentuk demokrasi yang paling ideal—dari revolusi melawan kolonialisme, perang saudara untuk menghapus perbudakan, perjuangan hak sipil, hingga polarisasi tajam di era media sosial.
Ia penuh kontradiksi: stabil namun gaduh, inklusif namun timpang, kuat namun rapuh.
Tapi satu hal yang pasti: politik Amerika tidak berhenti di perbatasan negara itu. Ia merambat ke Manila, Nairobi, Berlin, hingga Jakarta. Dan entah kita suka atau tidak, keputusan yang diambil di Washington tetap akan bergema di rumah kita.
Oleh : Irna
Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas




