MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Anggota Hisab Nasional MTT PPM, dosen Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dan anggota Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat Dr. Firdaus, M.H.I. menjelaskan bahwa Waktu Syuruq secara harfiah bermakna “terbitnya matahari” dan menjadi penanda berakhirnya waktu pelaksanaan shalat Subuh. Syuruq bukanlah istilah untuk menyebut shalat sunnah, melainkan batas akhir yang menandakan matahari telah muncul di ufuk timur.
Firdaus menekankan, Rasulullah SAW secara khusus melarang umat Islam mengerjakan shalat pada periode ini. Larangan ini merujuk pada sejumlah hadis sahih, salah satunya riwayat yang menyebutkan, “Ketika matahari terbit, ia berada di antara dua tanduk setan, dan saat itu orang-orang kafir bersujud kepada matahari” (HR Muslim). Oleh sebab itu, umat Muslim dilarang shalat sejak matahari mulai terbit hingga ia naik setinggi satu tombak (kira-kira 15-20 menit setelah syuruq).
Menurutnya, larangan ini perlu dipahami sebagai bentuk ketaatan terhadap syariat. Bagi yang terlambat mengerjakan shalat Subuh, dianjurkan menunggu hingga matahari cukup tinggi sebelum mengqadha (mengganti) shalat tersebut. Hal ini bertujuan menghindari praktik ibadah yang bertentangan dengan tuntunan Nabi SAW.
Firdaus juga mengingatkan agar umat Islam senantiasa memerhatikan ketentuan waktu-waktu terlarang shalat lainnya, seperti saat matahari tepat di zenith (tengah hari) dan menjelang terbenam. Ketaatan dalam menjauhi waktu-waktu ini mencerminkan kesadaran akan kedisiplinan syariat serta penghindaran dari tindakan yang menyerupai ritual penyembahan selain Allah SWT.
Pemahaman ini diharapkan memperkuat komitmen umat Muslim dalam menjaga kesucian ibadah, sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dengan demikian, praktik shalat tidak hanya tepat waktu, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.






