Antisipasi Hoax Demi Suksesnya Pemilihan Serentak 2024

  • Whatsapp

Padang Aro, (Minangkabaunews) – Pemilihan Serentak 2024 tidak lama lagi akan digelar dimana sekarang tahapannya sudah sampai pada tahap kampanye pasangan calon.

Kampanye yang dilakukan pasangan calon maupun oleh tim masing-masing sekarang tidak hanya sebatas pertemuan tatap muka atau atau pertemuan terbatas saja tetapi sudah jauh berkembang keberbagai platform media sosial dengan memanfaatkan kemajuan tekhnologi yang terus berkembang.

Untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran hoax butuh sinergitas semua lapisan masyarakat terutama organisasi kepemudaan yang dinilai lebih melek tekhnologi.

Divisi Hukum, Pencegahan, Parmas dan Humas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Solok Selatan Haikal mengatakan, di tengah dinamika politik yang memanas, Pilkada 2024 di media sosial bisa diwarnai dengan interaksi yang lebih damai dan produktif dan ini tentu tidak mudah dilaksanakan.

Menurut dia, ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menciptakan ekosistem media sosial yang lebih sehat selama proses Pilkada yang pertama, literasi digital harus menjadi prioritas utama.

“Dalam era informasi seperti saat ini, kemampuan untuk memilah mana informasi yang valid dan mana yang salah adalah keterampilan yang harus dikuasai dan diasah,” ujarnya.

Pemerintah, lembaga pendidikan, hingga organisasi masyarakat sipil katanya, memiliki peran besar dalam mendidik masyarakat untuk menjadi pengguna media sosial yang cerdas.

Konten-konten literasi digital harus diperluas dan ditingkatkan dengan fokus pada cara mengenali hoaks, memverifikasi informasi, serta memahami dinamika politik di media sosial.

Yang kedua katanya, regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk menekan penyebaran konten negatif di media sosial.

“Meskipun kebebasan berpendapat adalah hak yang harus dijaga, namun ada batasan ketika kebebasan ini mulai menabrak kepentingan bersama,” katanya

Pemerintah dan platform media sosial katanya, harus berkolaborasi untuk memantau dan mengambil tindakan tegas terhadap akun-akun yang terlibat dalam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.

Langkah-langkah ini penting untuk menjaga agar Pilkada 2024 tidak berubah menjadi ajang penyebaran kebencian yang merusak kohesi sosial.

Ketiga, para calon kepala daerah dan tim kampanye harus menunjukkan komitmen terhadap kampanye yang bersih dan damai.

Selain itu, kelompok-kelompok masyarakat sipil juga dapat mengambil peran dengan menginisiasi forum-forum diskusi yang lebih sehat.

 

Peran Masyarakat

Di media sosial, kelompok masyarakat bisa menjadi jembatan antara berbagai pihak yang berbeda pandangan, dengan menawarkan ruang diskusi yang lebih terarah dan berbasis data.

Hal ini akan membantu masyarakat untuk lebih fokus pada isu-isu substansial daripada sekadar terjebak dalam pertarungan politik yang sifatnya destruktif.

“Kami sudah membuka posko aduan baik di Bawaslu maupun di Kecamatan dan berharap organisasi masyarakat dan kepemudaan di Solok Selatan untuk lebih berperan dalam menyeimbangkan ide dan gagasan pemilu damai khususnya kampanye di media sosial,” katanya.

Dia mengatakan, tahapan kampanye sudah 12 hari berjalan untuk Pemilihan Serentak Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat dan pemilihan Bupati dan wakil bupati Solok Selatan tahun 2024 ini.

Kampanye sebagai sarana penyampaian ide guna meyakinkan pemilih sudah berevolusi bukan hanya di ranah fisik dengan pertemuan tatap muka, tetapi lebih dari itu, pertempuran ide dan gagasan juga akan banyak terjadi di dunia maya, khususnya di media sosial.

Mudahnya Penyebaran Hoax

Era digital telah membuat arus informasi mengalir begitu deras, di mana batasan antara fakta dan fiksi kerap kali menjadi kabur.

Dia menyebutkan, data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Monash University dalam pengamatan mereka selama pileg 2024 ada 1,5 juta teks berbicara tentang pemilu dan sekitar 200 teks tersebut bernuansa ujaran kebencian.

Sumber paling banyak untuk ujaran kebencian katanya, yaitu Facebook 56,8 persen, Twitter yang sekarang dikenal dengan X 36,3 persen Instagram 6,6 persen serta artikel 0,22 persen.

“Dari data yg disajikan oleh AJI tersebut dapat disimpulkan bahwa ujaran kebencian dan segala turunannya itu lebih banyak di percakapan antara pengguna medsos dibandingkan artikel,” ujarnya.

Menurutnya, media sosial dengan algoritma yang cenderung memperkuat bias pengguna, menciptakan ruang di mana orang-orang hanya mendengar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri.

Akibatnya, terjadi fragmentasi sosial yang makin nyata perbedaan pandangan politik tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang wajar, melainkan dipandang sebagai ancaman yang membahayakan.

Dengan pola algoritma sperti itu, para pengguna medsos hanya mendapat asupan informasi sepihak dan bahkan sampai mereka anggap ini adalah kebenaran yang mutlak.

Pilkada 2024 katanya, seharusnya bisa menjadi momen untuk mendesain ulang pola interaksi politik di media sosial.

“Melalui pendekatan yang lebih damai dan produktif, media sosial dapat dimanfaatkan sebagai instrumen untuk membangun kesadaran politik yang sehat, mendukung dialog yang konstruktif dan menjadi wahana pendidikan politik yang lebih inklusif,” ujarnya.

Kepala Dinas Informatika dan Komunikasi Solok Selatan Firdaus Firman mengatakan, fenomena hoax pasti akan berkembang apalagi saat Pemilihan serentak.

“Hoax merusak pikiran masyarakat terutama saat pilkada sehingga Bawaslu perlu menyediakan sarana yang mudah untuk di akses masyarakat,” ujarnya.

Dia mengatakan, 95 persen anak muda Indonesia menggunakan internet dan hampir 90 persennya digunakan untuk mengakses media sosial.

Survei dailysocial tahun 2018 menyebutkan 44 hoax tidak dapat di akses masyarakat.

Penelitian masyarakat telekomunikasi Indonesia 2017 media paling banyak menyebar hoax adalah medsos dengan 92,40 persen.

Related posts