MINANGKABAUNEWS.com, ARTIKEL — Di banyak sentra pertanian Indonesia, di pagi hari, suara mesin pompa kerap lebih menggema daripada gemericik air yang seharusnya mengalir tenang. Para petani berjalan menyusuri pematang, menatap lahan mereka dengan harap-harap cemas. Air, nadi kehidupan sawah, tak selalu setia datang. Saluran irigasi yang menua, dangkal oleh sedimentasi, atau bocor di sana-sini, menjadi penghalang besar menuju mimpi kedaulatan pangan.
Potret ini bukan hanya tentang satu daerah, tetapi tentang tantangan nasional. Dan di barisan depan pertarungan ini, Nusa Tenggara Barat (NTB) berdiri, menunjukkan bagaimana kebangkitan irigasi menjadi kunci membuka gerbang kemandirian pangan.
Memasuki tahun 2025, Pemerintah Provinsi NTB serius memperkuat infrastruktur penunjang pangan. Tiga jaringan irigasi utama menjadi prioritas: Maronggek di Lombok Timur, Santong di Lombok Utara, dan Kadindi di Dompu. Rehabilitasi besar-besaran ini bukan sekadar perbaikan fisik, tetapi suntikan harapan bagi ribuan petani.
Di Lombok Timur, jaringan Maronggek yang kompleks mendapatkan anggaran terbesar, sekitar enam miliar rupiah, untuk memperbaiki hampir empat kilometer saluran. Targetnya ambisius: meningkatkan indeks pertanaman hingga 230% dan mengairi 378 hektare lahan dengan lebih efisien.
Sementara itu, di Lombok Utara, Santong diperbaiki sepanjang dua kilometer lebih, diproyeksikan mengairi 468 hektare sawah. Di kaki Gunung Tambora, harapan petani Dompu disematkan pada Kadindi. Saluran yang dulu bocor dan tak mampu mengantar air hingga ujung sawah, kini ditata kembali sepanjang 3.200 meter. Tujuannya jelas: menstabilkan pola tanam padi dan palawija.
Strategi ini sejalan dengan kebijakan pusat yang tak hanya fokus pada pembangunan baru, tetapi juga menghidupkan kembali aset lama. Pengalaman di Desa Penujak membuktikan keampuhan pendekatan ini. Irigasi tua yang direvitalisasi mampu mendongkrak indeks pertanaman hingga 300, membuat petani panen tiga kali setahun. Kebijakan “bangun dari dalam” ini terbukti lebih cepat dan efektif memulihkan fungsi irigasi yang bertahun-tahun terabaikan.
Namun, di balik optimisme itu, tantangan tak pernah absen. Laporan dari Bima, misalnya, menggambarkan pilu. Pasca banjir bandang, bendungan kecil dan jaringan irigasi rusak tak segera diperbaiki. Ratusan hektare sawah gagal panen, berubah menjadi alur sungai baru. Petani yang biasa panen tiga hingga empat kali setahun, terpaksa merana melihat lahannya mengering karena aliran air terputus.
Perubahan iklim memperparah keadaan. Pola hujan yang tak menentu, sedimentasi yang makin menjadi, dan banjir ekstrem membuat infrastruktur irigasi kian rentan. Perencanaan teknis yang tidak adaptif seringkali memperpendek usia saluran. Dampaknya berantai: produksi merosot, pendapatan petani tergerus, dan ancaman kemiskinan mengintai.
Di sinilah letak strategisnya rehabilitasi irigasi. Ia bukan sekadar proyek fisik, melainkan investasi sosial-ekonomi. Mengubah sawah dua kali tanam menjadi tiga kali, atau satu kali menjadi dua kali, berarti langsung menambah kapasitas produksi daerah. Bagi NTB, yang dikenal sebagai lumbung pangan kawasan timur Indonesia, penguatan irigasi adalah fondasi yang tak bisa ditawar.
Pendekatannya pun harus holistik, melampaui aspek teknis. Partisipasi masyarakat adalah kunci. Tradisi gotong royong membersihkan saluran, yang dulu hidup dalam budaya agraris, perlu dihidupkan kembali. Revitalisasi irigasi bisa menjadi momentum membangkitkan spirit kebersamaan itu.
Ke depan, NTB membutuhkan peta jalan kemandirian pangan berbasis air. Setiap jaringan irigasi harus dipetakan dengan detail—kapasitas, tingkat kerusakan, prioritas perbaikan. Pemanfaatan teknologi seperti sistem informasi real-time dan drone pemantau dapat mendeteksi dini kebocoran dan gangguan, mencegah kerusakan yang lebih parah. Konservasi di hulu dan normalisasi sungai juga harus menjadi bagian tak terpisahkan untuk melindungi infrastruktur dari amukan banjir.
Pada akhirnya, upaya memperkuat irigasi adalah upaya memperkuat kedaulatan bangsa. Kedaulatan pangan bukan hanya tentang kecukupan beras di gudang Bulog, tetapi tentang kemampuan suatu daerah menjamin keberlanjutan hidup warganya yang menggantungkan nasib pada sehamparan sawah.
NTB telah membuktikan bahwa perbaikan irigasi mampu memacu produksi dan memulihkan ekonomi petani. Tantangannya sekarang adalah mengubah program menjadi gerakan massal, mengubah kebijakan menjadi aksi nyata di lapangan, dan mengubah setiap tetes air yang mengalir menjadi kesejahteraan yang dirasakan hingga ke pelosok desa.
Jika satu aliran kecil saja bisa menghidupkan ratusan hektare sawah, bayangkan apa yang bisa dicapai oleh seluruh jaringan irigasi yang direvitalisasi dengan komitmen dan perencanaan yang matang. Di sanalah masa depan pangan NTB, dan Indonesia, sedang dibangun. Air yang terkelola adalah kedaulatan yang nyata. (ANTARA)






