Ekosistem Data Pangan: Solusi Atasi Krisis Pangan di Era Digital

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA – Problem fragmentasi data pangan masih menjadi duri dalam daging bagi pengambilan kebijakan publik. Padahal, Indonesia telah memiliki Perpres Satu Data Indonesia sejak 2019. Namun, di tengah luasnya lahan pertanian dan kelautan yang mencapai lebih dari 151 juta hektare, kebijakan “satu peta” saja tak lagi memadai.

Yang dibutuhkan kini adalah lompatan besar menuju ekosistem data terintegrasi—sebuah sistem yang memungkinkan data dari berbagai instansi saling terhubung, terkalibrasi, dan menghasilkan informasi yang utuh.

Dari Satu Peta Menuju Geoportal Hub

Di era digital, peta telah bertransformasi menjadi geoinformasi spasial yang terdiri dari lapisan-lapisan data raksasa. Setiap instansi boleh saja memiliki data spasial masing-masing, namun konektivitas dalam sebuah geoportal hub collection menjadi kunci.

Ibaratnya, seperti berbagai data satelit—Landsat, Sentinel, ALOS PALSAR—yang dapat diakses dari satu platform. Keunggulan satu produk dapat menutupi kelemahan produk lainnya, sehingga informasi yang diperoleh semakin akurat.

Realita Fragmentasi Data Pangan

Saat ini, tiga instansi utama—BPS, Bappenas, dan Kementan—masing-masing menghasilkan data dengan metodologi berbeda. Perbedaan ini wajar, namun menjadi masalah ketika tidak terintegrasi.

BPS dengan metode kerangka sampel area dan data satelitnya membuka peluang real-time crop monitoring. Bappenas melalui platform IDMAI dapat memantau prediksi panen hingga alih fungsi lahan. Kementan juga memiliki sistem datanya sendiri.

Tantangannya adalah mengolaborasikan fragmentasi ini melalui geoportal hub connection.

Ekonomi Biru dan Ancaman di Laut

Di sektor kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memanfaatkan data spasial dari 11 wilayah pengelolaan perikanan. Sistem ini menjadi dasar penangkapan ikan terukur berbasis kuota.

Dengan produksi 20-25 juta ton per tahun, Indonesia berpotensi menjadi lumbung protein dunia. Namun, tekanan aktivitas manusia dan perubahan iklim mengancam keseimbangan ekosistem. Tanpa sistem pemantauan spasial yang kuat, overfishing bisa menjadi bumerang bagi ketahanan pangan.

GeoMIMO: Jembatan Menuju Integrasi

Di sinilah GeoMIMO diharapkan dapat menjadi geoportal connection hub—ekosistem data geospasial yang mendukung mixed method dan IDMAI. Ini menjadi contoh nyata bagaimana geoinformatika dapat menjembatani data, kebijakan, dan keberlanjutan.

Namun, jalan menuju integrasi masih panjang. Kendala akses internet di daerah, keterbatasan SDM teknis, hingga biaya lisensi software yang tinggi masih menjadi penghambat.

Kerja sama lintas sektor—pemerintah, swasta, akademisi—menjadi mutlak. Saatnya melihat ketahanan pangan bukan sekadar dari ladang, tetapi dari peta, piksel, dan pola data.

Jika berhasil, Indonesia bukan hanya akan dikenal sebagai lumbung pangan tropis, tetapi juga pusat kecerdasan geospasial pangan dunia.

*/ J. Widodo Penulis adalah peneliti di Pusat Riset Geoinformatika dan Pusat Riset Pertanian Tanaman Pangan, BRIN.

Related posts