Oleh: Ki Jal Atri Tanjung (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumbar)
Indonesia tengah menghadapi krisis lingkungan yang mengkhawatirkan. Hutan-hutan yang dahulu lebat dan menjadi paru-paru dunia, kini perlahan kehilangan kekuatannya. Bukan karena bencana alam, melainkan ulah keserakahan manusia yang tak terkendali.
Illegal logging, tambang ilegal, hingga perusahaan tambang legal yang mengabaikan kewajiban reklamasi—semua ini adalah wajah nyata dari apa yang bisa kita sebut sebagai “keserakahanomics.” Sebuah sistem ekonomi berbasis kerakusan yang mengorbankan masa depan lingkungan demi keuntungan sesaat.
Advokat Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatera Barat, menyuarakan sebuah solusi kontroversial namun mungkin perlu: sanksi pidana dan perdata yang ekstrem. Bukan sekadar denda atau penjara biasa, tetapi pemiskinan total terhadap korporasi, aktor, dan pelaku perusakan hutan, termasuk para pejabat yang memberikan izin.
Mengapa harus sejauh ini? Karena kejahatan lingkungan bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah kejahatan terhadap negara dan kemanusiaan yang dampaknya akan dirasakan generasi mendatang. Kerusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga perubahan iklim—semua bermula dari keserakahan yang tidak ditindak tegas.
Masalahnya bukan hanya pada pelaku kejahatan. Kebijakan perlindungan lingkungan kita masih penuh celah. Meskipun regulasi sudah ada, pelaksanaannya lemah dan tidak didukung anggaran memadai.
Lembaga legislatif, dari tingkat pusat hingga nagari, ditantang untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Pengelolaan hutan harus berkeadilan, humanis, dan mensejahterakan masyarakat—bukan hanya menguntungkan segelintir pengusaha rakus.
Tantangannya memang tidak mudah: kurangnya kesadaran masyarakat, minimnya akses informasi tentang rancangan peraturan, kapasitas legislatif yang terbatas, hingga lemahnya sosialisasi. Semua ini menciptakan regulasi yang tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Berbicara tentang kebijakan tanpa membahas anggaran adalah sia-sia. APBN, APBD, hingga APB Nagari harus mengalokasikan dana memadai untuk pelestarian lingkungan. Tanpa pembiayaan yang cukup, kebijakan sekeren apa pun hanya akan menjadi dokumen mati yang tidak berdampak.
Anggaran harus disusun untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan, bukan sekadar memenuhi target pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan.
Solusi jangka panjang memerlukan partisipasi aktif masyarakat. Lembaga legislatif perlu meningkatkan sosialisasi melalui media sosial, pertemuan publik, dan platform lainnya. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses pembentukan peraturan, bukan hanya menjadi objek yang terkena dampaknya.
Teknologi ramah lingkungan juga harus dikembangkan sebagai alternatif dari praktik eksploitasi yang merusak. Kesadaran kolektif bahwa alam bukan sekadar sumber daya yang bisa dikeruk tanpa batas, tetapi warisan yang harus dijaga, harus ditanamkan sejak dini.
**Saatnya Bertindak Ekstrem untuk Kebaikan Bersama**
Keserakahanomics harus dihadapi dengan penegakan hukum yang ekstrem. Bukan untuk balas dendam, tetapi untuk memberi efek jera dan melindungi masa depan. Hutan bukan hanya milik generasi sekarang, tetapi juga anak cucu kita kelak.
Perbaikan kebijakan, dukungan anggaran yang adil, dan partisipasi masyarakat adalah tiga pilar yang harus berdiri tegak bersama. Tanpa ketiganya, hutan Indonesia akan terus kehilangan kekuatannya—dan kita semua yang akan menanggung akibatnya.
“Temanmu Temanku”—semoga kita semua menjadi teman bagi alam, bukan musuhnya.






