NASIONAL – Hukuman mati atau pidana mati adalah praktik yang dilakukan oleh suatu Negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan seorang Terdakwa. Putusan itu memerintahkan seorang pesakitan di vonis mati dan cepat atau lambat akan dilakukan eksekusi mati. Kejahatan yang dapat dikenai hukuman mati sangat beragam tergantung jurisdiksi, namun biasanya melibatkan kejahatan yang serius terhadap seseorang atau sekelompok orang seperti pembunuhan berencana atau tidak berencana, pemerkosaan, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak, pelaku terorisme,residivisme, penyeludupan bahkan perdagangan narkotika.
Hukuman mati telah menjadi kontroversi di sejumlah Negara, dan posisinya dapat berbeda dalam ideologi politik atau wilayah budaya yang sama. Amnesty International mendeklarasikan bahwa hukuman mati adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, Yang menyatakan hak untuk hidup dan hak untuk hidup bebas dari penyiksaan, perlakuan jahat, tidak manusiawi.
Majelis Eropa, yang memiliki 46 negara anggota, telah mencoba untuk meniadakan penggunaan hukuman mati secara absolut bagi para anggotanya, melalui Protokol 133 dari Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia. Hukuman mati adalah salah satu hukum yang diberlakukan di Indonesia, hukuman ini berlaku untuk kasus yang sangat berat seperti narkotika, korupsi, hingga seperti kasus pembunuhan berencana yang baru-baru ini menjadi viral dimana pada tanggal 13 Februari lau majelis hakim memutuskan vonis hukuman mati kepada Ferdi sambo. Vonis ini dijatuhkan setelah Ferdi sambo terbukti melakukan tindakan berencana hingga menghilangkan nyawa ajudannya Brigadir Yoshua Hutabarat.
Selain kasus Ferdi Sambo terdapat sejumlah kasus terkenal di Indonesia yang sangat berat yang berujung pada vonis hukuman mati. Ada beberapa kasus terkenal sepanjang sejarah Indonesia yang berakhir pada hukuman mati. Yang pertama yakni kasus Oestin Bestari pada tahun 1964. Oestin Bestari merupakan seorang pedagang sekaligus jagal kambing. Oestin melakukan aksi kejinya hingga menghilangkan nyawa enam orang sekaligus yang merupakan rekan bisnisnya, aksi pertamanya ini dilakukan di desa Jagalan, kemudian lima orang lainnya di sebuah rumah yang dia sewa di desa saduri di pinggir jalan raya antara Mojokerto dan Surabaya. Oestin pun lalu ditangkap oleh pihak aparat dan dijatuhi vonis hukuman mati pada tahun 1964.14 tahun kemudian hukuman mati diberikan kepadanya saat subuh tanggal 14 September 1978 di tepi pantai daerah Kenjeran Surabaya. Kasus Oestin Bestari ini merupakan kasus pertama dan dia menjadi orang Indonesia pertama yang dijatuhi hukuman mati.
Yang kedua yakni kasus fabianus Tibo dkk pada tahun 2006. selain Oestin Bestari kasus berat yang terkenal yang berakhir pada vonis hukuman mati terjadi pada tahun 2006 kala itu pada tahun 1998 hingga tahun 2001 Kabupaten Poso Sulawesi Tengah diguncang kerusuhan, setelah diselidiki oleh pengadilan Negeri Palu pada 5 April 2001 akhirnya hakim memvonis hukuman mati kepada fabianus Tibo. 5 tahun kemudian tepatnya tanggal 22 September 2006 ketiganya di eksekusi setelah beberapa kali tertunda karena terdapat pro dan kontra dari masyarakat dan sejumlah tokoh Indonesia.
Selanjutnya yakni kasus Ahmad Suradji pada tahun 2008. Pada tahun 2008 Indonesia digemparkan dengan sosok Ahmad Suradji yang populer dipanggil dukun AS, dukun AS terbukti menjadi pelaku, dia menghilangkan nyawa dari 42 wanita sekaligus di perkebunan tebu di Desa Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, aksinya tersebut dilakukan dari tahun 1986 hingga tahun 1997. Oleh majelis hakim pengadilan negeri Lubuk Pakam, Ahmad Suradji terbukti bersalah hingga dijatuhi hukuman mati pada tanggal 27 April 1998. 10 tahun kemudian pada bulan Juli 2008, dia dieksekusi pukul sepuluh malam oleh Brimob Polda Sumatera Utara.
Selanjutnya yakni kasus Amrozi bin Nur Hasyim dkk pada tahun 2008. Pada malam Natal tahun 2000 Indonesia mengalami duka yang sangat mendalam, aksi yang dilakukan dan didalangi oleh Amrozi bin Nur Hasyim Imam Samudra dan Huda Bin Abdul Haq membuat 18 orang harus kehilangan nyawanya di sejumlah gereja pada tahun 2002 aksi ini kembali terjadi dan mereka lakukan di Bali, sebanyak 203 orang harus kehilangan nyawanya , 28 orang tersangka tiga diantaranya lalu divonis hukuman mati yaitu Amrozi, Imam Samudra dan Huda Bin Abdul Haq pada Agustus 2003. Pelaksanaan hukuman mati tertunda beberapa kali lantaran tim pengacara keberatan dan mengajukan peninjauan kembali pada tahun 2008 namun ditolak. Pada November 2008 Amrozi, Imam Samudra, dan Huda bin Abdul Haq dieksekusi di lembah nirbaya Pulau Nusa kambangan Cilacap Jawa Tengah.
Selanjutnya yakni kasus Freddy Budiman dkk pada tahun 2016. Freddy Budiman adalah seorang pengedar narkoba asal Surabaya. Freddy sudah berkali-kali tertangkap dan dipenjara namun tidak pernah bertobat. Freddy ditangkap pertama kali pada tahun 2009. Freddy dieksekusi mati pada bulan Juli tahun 2016 di Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah bersama tiga orang lainnya yang berkewarganegaraan asing.
Terakhir yakni kasus Ferdi Sambo dkk. Pada tanggal 8 Juli tahun 2022 Indonesia digemparkan dengan peristiwa yang menimpa Brigadir Yosua Hutabarat hingga kehilangan nyawanya. Ferdy sambo ditetapkan sebagai tersangka pada bulan Agustus tahun 2022, pada tanggal 17 Januari 2023 jaksa penuntut menuntut penjara seumur hidup kepada Ferdi Sambo. Namun, pada tanggal 13 Februari, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan vonis hukuman mati kepada Ferdi Sambo. Putusan Majelis Hakim ini cukup mengemparkan, bahkan terjadi Pro dan Kontra di tengah-tengah masyarakat Indonesia dan para pakar hukum.
Para pakar hukum yang berpandangan pro akan vonis mati, dari rangkuman kami di berbagai sumber menyatakan hukuman mati merupakan hukum positif Indonesia yang masih dibutuhkan di Indonesia untuk mengurangi angka kejahatan dan untuk mensejahterakan masyarakat. Menurut mereka hukuman mati harus dilaksanakan dengan spesifik dan selektif. Vonis mati yang diterapkan di Indonesia masih tetap relevan dan layak ditetapkan sebagai bentuk pemidanaan di Indonesia, namun tidak menjadi ukuran pidana pokok akan tetapi menjadi pemidanaan khusus, dimana hanya kejahatan yang serius dan hanya perbuatan yang sifatnya keji yang akan dijatuhi hukuman tersebut. Jangan sampai hukuman mati diterapkan dengan alasan kehabisan alasan untuk mengatasi angka kejahatan di Indonesia, karena setiap warga negara diharapkan mengerti akan substansi pemidanaan dengan efek jera yang berat tersebut, sehingga lahirlah warga negara Indonesia yang patuh akan hukum, khususnya aturan aturan hukum Pidana baik formil maupun materil.
Oleh : Sigit Pamungkas
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya jurusan Sastra Minangkabau Unand






