MINANGKABAUNEWS.com, PADANG – Ketua Umum MUI Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, dalam sebuah pengajian di masjid, menyampaikan pentingnya amanah dalam pengelolaan harta anak yatim sesuai dengan tuntunan Islam. Menurut beliau, menjaga harta anak yatim bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi juga merupakan ibadah yang memerlukan kehati-hatian dan tanggung jawab besar. Buya Gusrizal menegaskan beberapa prinsip penting yang menjadi pedoman dalam Islam terkait hal ini:
1. Menahan Diri bagi yang Berkecukupan
Pengelola atau pengasuh anak yatim yang memiliki kecukupan finansial dilarang menggunakan harta anak yatim untuk kepentingannya sendiri. Dalam Islam, ini dikenal sebagai sifat ifâh (menjaga kehormatan diri), yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dari mengambil sesuatu yang bukan haknya, bahkan dalam perkara yang dibolehkan sekalipun.
Ayat Al-Qur’an menegaskan, “Walyastafif” (hendaknya mereka menahan diri), sebagai perintah bagi mereka yang mampu memenuhi kebutuhannya agar tidak memanfaatkan harta anak yatim. Harta tersebut hanya boleh digunakan untuk kepentingan anak yatim dengan niat tulus sebagai bagian dari amal kebaikan.
2. Kelonggaran Bagi yang Fakir
Dalam kondisi darurat, jika pengasuh berada dalam situasi fakir (tidak memiliki pemasukan sama sekali dan berada dalam kondisi sangat sulit), Islam memberikan kelonggaran untuk memanfaatkan harta anak yatim. Namun, pemanfaatan ini dibatasi hanya untuk kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan kebutuhan mendesak lainnya.
Konsep bil ma’ruf dalam syariat Islam mengacu pada penggunaan yang patut dan tidak berlebihan. Hal ini mengedepankan keseimbangan agar kebutuhan mendesak terpenuhi tanpa melanggar prinsip keadilan.
3. Larangan Pemborosan dan Penyalahgunaan
Islam melarang keras tindakan israf (berlebih-lebihan) dan tabzir (pemborosan) dalam pengelolaan harta anak yatim. Harta tersebut harus digunakan sesuai kebutuhan anak yatim tanpa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi pengasuh, apalagi untuk memperkaya diri.
Buya Gusrizal mengingatkan agar pengelola harta anak yatim tidak tergesa-gesa menggunakan harta tersebut sehingga habis sebelum anak yatim mencapai usia dewasa dan mampu mengelola harta sendiri.
4. Keutamaan Mengasuh Anak Yatim
Dalam pengajian tersebut, Buya Gusrizal mengutip sabda Rasulullah SAW: “Aku dan orang yang menanggung anak yatim akan berada di surga seperti dua jari yang berdekatan.” Janji ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan orang yang dengan ikhlas mengasuh anak yatim.
Namun, beliau menekankan bahwa mengasuh anak yatim tidak hanya tentang memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga mencakup pembinaan spiritual dan moral agar anak yatim tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter dan mandiri.
5. Doa Nabi untuk Terhindar dari Kefakiran
Rasulullah SAW pernah berdoa agar dijauhkan dari kefakiran, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i:
“Allahumma inni a’udzu bika minal kufri wal faqri wa ‘adzabil qabr” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran, dan azab kubur).
Doa ini menunjukkan bahwa kefakiran dapat membawa kehinaan dan kerentanan yang lebih besar dibandingkan kemiskinan biasa. Oleh karena itu, pengasuh yang berada dalam kondisi fakir dibolehkan memanfaatkan harta anak yatim dengan batasan yang ketat sesuai kebutuhan darurat.
Islam memberikan pedoman yang tegas dan terperinci dalam pengelolaan harta anak yatim. Pengasuh yang mampu secara finansial wajib menjaga diri dari menyentuh harta tersebut, sedangkan bagi yang fakir, ada kelonggaran dengan batasan yang jelas. Hal ini bertujuan menjaga kehormatan anak yatim serta memastikan harta mereka tetap terpelihara hingga mereka dewasa.
Dengan menjalankan amanah ini sesuai syariat, pengasuh tidak hanya memenuhi tanggung jawab sosial, tetapi juga meraih pahala besar yang dijanjikan Allah SWT.






