Ketahanan Pangan Dimulai dari Pekarangan, Cerita Sutejo di Ponorogo

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PONOROGO — Keringat membasahi kaos lusuh yang dipakai Sutejo, seorang doktor sastra sekaligus pegiat literasi di Ponorogo. Pagi itu, ia baru saja memanen uwi (Dioscorea alata) dan gembili (Dioscorea esculenta) dari kebun kecil di samping rumahnya.

Yang menarik, pekarangan seluas 12 x 26 meter itu bukan sekadar lahan percobaan. Sejak pandemi COVID-19 membatasi ruang gerak pada 2020, Sutejo menjadikannya “rumah kebun” tempat menanam singkong, talas, uwi, hingga gembili. Hasilnya di luar dugaan: umbi-umbian dengan bobot jauh di atas rata-rata. Satu batang uwi manalagi bisa menghasilkan 55-60 kilogram.

Meski bergelar doktor sastra dan pernah menjabat rektor di perguruan tinggi swasta, Sutejo tak segan mencangkul tanah. Ia mengandalkan metode sederhana: tanah gembur dari campuran sampah organik, kotoran sapi, dan sekam bakar, ditambah perawatan penuh rasa. “Kuncinya tanah subur, diperlakukan dengan cinta,” ujarnya.

Menariknya, seluruh hasil panen tidak dijual. Sebagian dikonsumsi keluarga dan anak asuhnya, sisanya dibagi untuk tetangga dan kolega. “Ini bukan soal ekonomi, tapi pendidikan. Anak muda harus belajar berani kotor, menghargai tanah, dan mencintai pekerjaan petani,” kata Sutejo. Ia melibatkan tujuh mahasiswa bimbingannya untuk ikut menggali, menanam, hingga memanen.

Lebih jauh, kebiasaan sederhana itu berdampak pada pola konsumsi keluarga. Jika sebelumnya makan nasi tiga kali sehari, kini berkurang jadi dua kali, bahkan sering hanya sekali. Sisanya diganti dengan singkong, talas, atau uwi. “Awalnya coba-coba, lama-lama tubuh terbiasa, perut tetap kenyang,” jelasnya.

Data Badan Pangan Nasional (BPN) menunjukkan konsumsi beras masyarakat Indonesia pada 2018 mencapai 97,1 kilogram per kapita per tahun atau sekitar 0,27 kilogram per hari. Jika pola diversifikasi pangan seperti yang dilakukan Sutejo meluas, ketergantungan terhadap beras bisa ditekan signifikan.

Kebijakan diversifikasi pangan sendiri sudah lama digaungkan. Menteri Pertanian Amran Sulaiman menekankan pentingnya menghidupkan kembali kearifan lokal: sagu di timur Indonesia, jagung di Madura, hingga umbi-umbian di Jawa.

Selain menopang ketahanan pangan nasional, Sutejo juga merasakan manfaat kesehatan. Keluhan lambung berkurang, kadar gula lebih stabil. “Umbi-umbian lebih ramah bagi tubuh. Kita sehat, pangan juga kuat,” ujarnya.

Bagi Sutejo, ketahanan pangan tidak harus dimulai dari lahan luas. Cukup pekarangan rumah, cangkul, dan niat. “Kalau banyak keluarga mau menanam dan mengonsumsi pangan lokal, Indonesia bukan hanya mandiri, tapi berdaulat di bidang pangan,” tegasnya.

Related posts