Political Will Pemerintah Daerah dan Partisipasi Masyarakat: Kunci Mengatasi LGBT

  • Whatsapp

Oleh: Advokat Ki Jal Atri Tanjung

Masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) belakangan dihebohkan oleh pengakuan mengejutkan seorang pria di Padang yang mengaku telah berhubungan intim dengan 200 pria. Fenomena ini menjadi tamparan keras bagi provinsi yang menjunjung tinggi nilai adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Di tengah ujian bencana alam yang bertubi, kemunculan perilaku seksual menyimpang kian menggores luka di hati masyarakat religius Minangkabau. Ironisnya, pemerintah daerah terkesan abai, sehingga populasi LGBT terus meningkat dan kasus HIV/AIDS melonjak.

Beberapa insiden terbaru memperlihatkan betapa masalah ini telah mencapai tahap mengkhawatirkan. Dua pria tertangkap kamera berbuat asusila di dalam masjid di Pesisir Selatan, sementara di Pariaman, dua pria dan seorang waria diringkus warga di sebuah penginapan. Tidak hanya itu, dua pria—salah satunya pegawai perusahaan daerah—tertangkap basah di Bukittinggi. Data tahun 2019 mencatat Sumbar sebagai provinsi dengan populasi LGBT tertinggi di Indonesia (18.000 orang), dan pada 2022, kasus HIV positif baru di RSUP Dr. M. Djamil Padang mencapai 350 pasien. Total penderita HIV/AIDS di Sumbar kini 8.976 orang—angka yang mengindikasikan krisis kesehatan serius.

Almarhum Nasrul Abit, Wakil Gubernur Sumbar periode 2016-2021, pernah merancang Perda Pemberantasan LGBT. Sayangnya, kepemimpinan Gubernur Mahyeldi tidak melanjutkan inisiatif ini. Padahal, sebagai politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahyeldi kerap menyuarakan bahaya LGBT, namun tidak ada langkah konkret selama empat tahun menjabat. Pertanyaan mengemuka: apakah pembiaran ini bagian dari strategi elektabilitas, mengingat populasi LGBT yang signifikan?

Pembiaran terhadap kemaksiatan bukan hanya mengundang murka Ilahi, tetapi juga mengancam tatanan sosial. Pemerintah daerah harus segera merumuskan regulasi spesifik untuk membendung pertumbuhan LGBT, disertai program terukur yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Upaya ini perlu diperkuat dengan:
1. Perda Berbasis Nilai Agama dan Adat: Menghidupkan kembali rancangan Perda Pemberantasan LGBT dengan sanksi tegas, sejalan dengan filosofi Minangkabau.
2. Peningkatan Peran Lembaga Sosial dan Ormas: Mengoptimalkan fungsi majelis taklim, lembaga pendidikan, dan organisasi kemasyarakatan untuk edukasi pencegahan.
3. Kampanye Kesehatan Publik: Menyasar risiko medis seperti HIV/AIDS melalui kolaborasi dengan tenaga kesehatan dan media.
4. Pengawasan Ruang Publik: Melibatkan masyarakat dalam patroli dan pengaduan untuk mencegah tindakan asusila.

Kepemimpinan yang tegas dan konsisten adalah kunci. Gubernur Mahyeldi tidak bisa lagi berpangku tangan sementara nilai-nilai adat dan syarak tercerabut. Masyarakat pun harus bergerak: membangun kesadaran kolektif bahwa pembiaran LGBT adalah pintu masuk bencana sosial. Sinergi antara pemerintah, tokoh adat, ulama, dan masyarakat wajib diperkuat untuk melindungi generasi muda dari pengaruh destruktif.

Marilah kita jadikan Sumbar kembali menjadi contoh daerah yang memadukan kearifan lokal dan ketegasan hukum. Hanya dengan political will yang kuat dan partisipasi aktif masyarakat, ancaman LGBT dapat diantisipasi tanpa mengorbankan hak asasi warga yang berjalan sesuai norma agama dan adat.

Related posts