MINANGKABAUNEWS.com, FEATURE –ruang sidang itu hening, lalu bergemuruh. Para kepala negara dan kepala pemerintahan dari dunia Muslim duduk berjejer, wajah mereka tegang, sebagian mengangguk pelan, sebagian lain saling pandang. Namun yang membuat seisi ruangan tercekat adalah sosok yang berbicara di sidang. Dengan suara berat dan tatapan tajam, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, membuka pidatonya dengan kalimat yang mengguncang hati.
“Kita berkumpul hari ini sekali lagi untuk mengutuk pelanggaran hukum internasional yang keterlaluan, kekejaman yang nyata dan mengerikan,” ujarnya. “Namun saya ingin memberikan beberapa komentar. Kita harus melihat situasi apa adanya, realitas situasi.”
Suasana berubah. Apa yang biasanya hanya menjadi deretan deklarasi manis di forum internasional, kali ini meledak menjadi kritik keras. Prabowo menyebutkan fakta yang sering disapu di bawah karpet diplomasi: dunia Islam yang jumlahnya hampir dua miliar jiwa—25 persen dari populasi dunia—tidak dihormati.
“Kita punya sumber daya yang besar,” katanya dengan nada meninggi. “Tapi kita tidak bisa bersatu. Kita bertengkar satu sama lain, lalu ketika saudara kita disakiti, barulah kita menyatakan dukungan dan mengirimkan bantuan kemanusiaan.”
Kalimat itu terdengar seperti cambuk. Di antara hadirin, beberapa kepala negara tampak mengernyit, sebagian menunduk, seolah sedang bercermin.
Retakan dalam Dunia Islam
Prabowo tak berhenti di situ. Ia membeberkan luka yang selama ini membuat dunia Islam tak pernah benar-benar bangkit. “Divide et impera—pecah belah dan kuasai—itulah hukum imperialisme selama ribuan tahun, dan kita terpecah belah setiap hari.”
Ia menyebut konflik Sudan, Libya, hingga Yaman: sesama pemimpin Muslim saling berhadapan, saling melawan, dan akhirnya membuka jalan bagi kekuatan luar menguasai panggung.
Pertanyaan pedihnya menggantung di udara: “Kapan ini akan berakhir? Bagaimana kita bisa menolong Palestina jika kita sendiri saling bertengkar?”
Para delegasi tak segera bertepuk tangan. Hening. Beberapa wajah tampak memerah, menahan emosi. Pidato itu tak sekadar kritik, tapi juga pengakuan getir.
Deklarasi yang Tak Pernah Menyentuh Bumi
Prabowo mengaku telah menghadiri banyak pertemuan serupa. Semua berakhir sama: deklarasi panjang, dukungan retoris, tapi nihil aksi nyata.
“Semua yang kami lakukan hanyalah memberikan deklarasi dukungan,” katanya. “Saya menyerukan persatuan. Saya menyerukan kerja sama. Saya menyerukan agar kita, negara-negara Muslim, menyadari apa yang tengah terjadi.”
Kalimat itu mengandung kekecewaan, tapi juga dorongan. Prabowo menegaskan, suara dunia Islam selama ini tak pernah didengar. “Mereka tidak peduli dengan suara kita. Hak asasi manusia bukan untuk orang Muslim. Inilah realitanya. Ini sangat menyedihkan.”
Indonesia di Garis Depan
Prabowo lalu menutup pidatonya dengan janji sederhana namun sarat makna. “Indonesia akan mencoba melakukan yang terbaik dalam apa pun yang dapat kami lakukan,” ujarnya. “Namun marilah kita jujur pada diri kita sendiri.”
Pidato itu disambut hening panjang sebelum tepuk tangan akhirnya pecah. Ada yang menepuk meja, ada pula yang berdiri, memberi penghormatan.
Di luar ruang sidang, sejumlah jurnalis internasional langsung menyebut pidato ini sebagai salah satu momen paling menggetarkan dalam sejarah KTT Dunia Islam. Sebuah pidato yang tidak hanya menohok lawan, tapi juga menampar kawan.