MINANGKABAUNEWS.com, JAKARTA — Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 tahun 2025, tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang bertujuan untuk mempercepat penyelesaian masalah tata kelola lahan dalam kawasan hutan, berdampak terhadap 50.000 jiwa yang berada di kawasan hutan di tujuh desa di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau yang diminta untuk segera merelokasi secara mandiri.
Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Arisal Aziz, meminta pemerintah mebatalkan rencana relokasi warga pemukiman masyarakat yang mendiami kawasan TNTN. “Jangan hanya sekedar rekomendasi-rekomendasi. Saya meminta permasalahan ini kita hentikan dan kita batalkan,” tegasnya.
Hal itu diungkapkannya dalam Rapat dengar pendapat (RDP) dan rapat dengar pendapat umum (RDPU), penanganan kasus aduan konflik lahan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, Riau di Komisi XIII, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 29 September 2025.
Menurut anggota dewan Dapil Sumatera Barat 2 ini, merelokasi warga pemukiman yang sudah menempati terlebih dahulu dari sebelum penataan kawasan TNTN, merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum-oknum. “Saya mempunyai keyakinan, Presiden Prabowo Subianto enggak tahu hal ini. Ini adalah oknum-oknum. Untuk itu Kementerian HAM yang mewakili pemerintah, saya minta tegas terhadap yang terjadi di Riau,” ujar Arisal Aziz yang juga Ketua DPW PAN Sumbar ini.
RDP dan RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Sugiat Santoso dan Andreas Hugo Pareira, hadir dari pihak pemerintah, Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian HAM RI Munafrizal Manan, Ketua Komisi Nasional HAM Anis Hidayah, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Brigjen Pol (Purn) Achmadi. Sementara itu dari pihak pengadu hadir Ketua Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan Pertanahan Provinsi Riau Abdul Aziz, Ketua Forum Desa Korban Tata Kelola Hutan Pertanahan Riau Abdul Kodir Jailani, Ketua Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelelawan Rahmad Mulyadi dan Ketua Pengurus Patri INHU Provinsi Riau Irwan Toni.
Ketua Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan Pertanahan Provinsi Riau Abdul Aziz mengungkapkan, cikal bakal persoalan ini dimulai tahun 1986 dengan muncul Surat Keputusan nomor 173 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Riau dan Kepulauan Riau yang saat itu masih bersatu dengan luas lahannya 9,3 juta hektar yang menjadi kawasan hutan.
Kemudian pada tahun 2011 keluar Surat Keputusan nomor 7651 yang memisahkan antara kawasan hutan Riau dan Kepulauan Riau. Di tahun 2011 sudah ada 12 kabupaten dan kota, dan lebih dari 1.500 desa yang diklaim berada di kawasan hutan. Lalu tahun 2014 muncul kembali SK 673 & SK 878. Terakhir keluar SK nomor 903 pada tahun 2016. “Bahwa ini kehutanan sudah melakukan pelanggaran HAM dari awal, minimal dari tahun 2016. Siapapun yang membiarkan ini terjadi membuat kami terjebak di dalam kawasan hutan itu,” tegas Abdul Aziz.
Abdul Aziz mengungkapkan, rakyat merasakan TNTN hanya secuil pintu masuk dari persoalan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum lembaga negara kehutanan, tentang kawasan hutannya, membuat masyarakat di kawasan hutan sangat miris.
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira mengungkapkan, terjadinya penyegelan kawasan pemukiman masyarakat yang mendiami kawasan TNTN, jauh sebelum ditetapkan kawasan TNTN dalam penataan kawasan Taman Nasional Tesonilo. Dampaknya dikucilkan dengan penebangan pohon sawit, pemutusan jaringan listrik, pelarangan transaksi hasil sawit masyarakat pemukiman, dan pelanggaran penerimaan murid baru di sekolah negeri yang ada di kawasan TNTN.
Adapun Kesimpulan Komisi XIII ada lima poin, yaitu : Pertama, Komisi XIII menolak relokasi warga yang berada di kawasan TNTN Provinsi Riau, karena melanggar hak azasi manusia. Kedua, meminta Satgas PKH tidak menghadapkan aparat negara (TNI Polri) dengan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan di TNTN di Provinsi Riau. Ketiga, Komisi XIII DPR merekomendasikan Kementerian HAM RI memimpin koordinasi lintas lembaga bersama Komnas HAM, LPSK, dan lembaga terkait lainnya untuk memastikan penyelesaian atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam konflik tata kelola hutan dan pertanahan di Provinsi Riau.
Keempat, Komisi XIII DPR akan mendorong kasus konflik kepemilikan tanah dan hutan di Provinsi Riau menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti oleh Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria yang akan dibentuk oleh DPR RI pada Sidang Paripurna tanggal 2 Oktober 2025. Dan Kelima, Komisi XIII DPR berkomitmen mengawal secara serius implementasi penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM yang dipimpin oleh Kementerian HAM Republik Indonesia dan penyelesaian permasalahan hukum terkait kepemilikan tanah atau hutan di Provinsi Riau melalui Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI. (***)