MINANGKABAUNEWS.com, SURABAYA – Dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa dan ancaman perubahan iklim yang kian nyata, Indonesia tak bisa lagi menggantungkan pangan pada impor. Fluktuasi harga global dan ketergantungan beras impor menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dan kedaulatan bangsa.
Merespons hal ini, pemerintah tak hanya mengejar target produksi. Program ketahanan pangan dalam RPJMN 2025–2029 dirancang sebagai langkah fundamental. Targetnya ambisius: tambah 4 juta hektare luas panen baru dan pacu produksi beras 10 juta ton dalam lima tahun. Caranya? Perluasan food estate dan modernisasi pertanian.
Papua Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan ditetapkan sebagai wilayah prioritas. Merauke, dengan potensi lahan satu juta hektare, disiapkan sebagai lumbung pangan terpadu. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan dermaga digenjot untuk lancarkan distribusi.
Namun, di tengah proyek raksasa itu, Jawa Timur justru menawarkan cerita sukses. Provinsi ini berhasil mentransformasi sektor pertanian menjadi pilar ekonomi yang kokoh. Data BPS 2024 mencatat Jatim sebagai produsen padi tertinggi nasional, dengan produksi lebih dari 9 juta ton gabah kering giling per tahun.
Kunci Sukses: Teknologi dan Kelembagaan
Keberhasilan Jawa Timur dibangun di atas fondasi sistem pertanian terpadu. Sektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan disatukan dalam satu ekosistem. Limbah pertanian menjadi pakan ternak, kotoran hewan diolah menjadi pupuk organik berkualitas. Siklus ini menjaga kesuburan tanah dan kurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
Yang lebih mengesankan adalah adopsi teknologi pertanian presisi. Di Lamongan, drone digunakan untuk pemupukan dan penyemprotan pestisida. Hasilnya, biaya operasional turun 30 persen dengan efektivitas yang lebih tinggi.
Bojonegoro dan Ngawi tak kalah inovatif. Sistem monitoring kelembapan tanah berbasis Internet of Things (IoT) dikembangkan. “Ngawitekno AgriCheck” di Ngawi memungkinkan petani jadwalkan irigasi secara optimal. Hasilnya, konsumsi air bisa ditekan hingga 40 persen tanpa korban produktivitas.
Inovasi teknologi ini berjalan beriringan dengan penguatan kelembagaan petani. Gabungan kelompok tani (gapoktan) tak hanya jadi wadah koordinasi, tapi telah bertransformasi menjadi unit bisnis yang solid. Kemitraan strategis dengan BUMD dan koperasi desa memungkinkan akses permodalan dengan bunga rendah dan jaminan pasar.
Diversifikasi, Solusi di Lahan Marjinal
Jawa Timur tak terjebak pada monokultur padi. Diversifikasi pangan lokal seperti jagung, ubi kayu, dan kedelai dikembangkan secara simultan. Strategi ini menciptakan ketahanan pangan yang tidak bergantung pada satu komoditas dan membuka peluang ekonomi baru, terutama di lahan yang kurang cocok untuk padi.
Model Jawa Timur membuktikan bahwa ketahanan pangan tak melulu soal membuka lahan baru. Intensifikasi dengan pendekatan teknologi dan kelembagaan yang kuat justru menghasilkan produktivitas lebih tinggi dengan jejak lingkungan lebih rendah.
Pendekatan inilah yang kini menjadi acuan pemerintah pusat dalam mengembangkan food estate di Kalimantan Tengah dan Papua Selatan. Evaluasi lintas kementerian menekankan pentingnya tata kelola terintegrasi, dukungan irigasi, jalan produksi, permodalan, dan akses pasar.
Strategi baru ini menekankan pendekatan berbasis kawasan dan data. Setiap proyek disesuaikan dengan potensi sumber daya dan komoditas unggulan lokal. Penguatan rantai pasok melibatkan BUMDes, koperasi tani, dan swasta nasional. Sistem pemasaran digital dan market intelligence berbasis data menjadi penopang utama.
Dengan memperkuat rantai dari hulu ke hilir, serta mengintegrasikan sektor pendidikan dan riset, pemerintah berharap sistem pangan nasional bisa lebih tangguh menghadapi guncangan ekonomi global.






