MINANGKABAUNEWS.com, AGAM — Suasana tenang di Jorong Toboh, Nagari Malalak Timur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, sirna dalam sekejap pada Rabu sore, 26 November. Pukul tiga lewat, langit tak lagi hanya memayungi hamparan sawah hijau dan petani yang sedang menjemur kayu kulit manis. Bunyi letupan keras memecah kesunyian, diikuti gemuruh mengerikan yang datang dari perbukitan. Dalam rekaman video yang beredar, terlihat gulungan ombak raksasa berwarna putih coklat—galodo, sapaan lokal untuk banjir bandang—meluncur tak terbendung, menghancurkan segala yang dilintasinya.
Di tengah kepanikan itu, suara Fendi (50 tahun) terdengar lantang memecah keputusasaan. “Lari! Selamatkan diri!” teriaknya. Lelaki berusia kepala lima itu bukan orang asing dengan bayangan maut. Jiwanya masih menyimpan trauma mendalam dari likuefaksi yang menyapu Palu pada 28 September 2018, di mana ia harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Kini, di tanah kelahirannya sendiri, sejarah kelam itu seolah mengulangi diri, namun dengan wajah yang berbeda.
Dengan naluri seorang penyintas, Fendi tidak hanya menyelamatkan dirinya sendiri. Setelah mencapai tempat yang lebih tinggi dan menyaksikan kampung halamannya berubah menjadi lautan lumpur, hatinya hancur mendengar teriakan minta tolong. Namun, keberaniannya bangkit. Dengan tenaga yang seolah datang dari sumber tak terlihat, ia turun kembali ke zona berbahaya. Dalam aksi yang ia sendiri sulit percayai, Fendi bahkan mampu menggendong dua ibu-ibu sekaligus, yang bobotnya melebihi dirinya, menjauh dari terjangan lumpur. “Mungkin ini kuasa Tuhan,” katanya, mengenang momen yang membuktikan betapa dalam krisis, batas kemampuan manusia kerap terlampaui.
Namun, bukan berarti semua berakhir bahagia. Dengan suara terbata-bata, Fendi menceritakan kepahitan tak mampu menolong semua orang. Lumpur setinggi tiga meter dan arus deras material kayu serta bebatuan membatasi langkahnya. Dalam ingatannya, setidaknya empat hingga lima nyawa, termasuk mertua perempuannya, berhasil ia bawa ke sebuah pondok kecil yang aman. Setelah itu, dengan sisa tenaga, ia berlari ke desa tetangga, Tandikek, untuk meminta bantuan darurat kepada pihak berwajib dan Badan Penanggulangan Bencana.
Operasi penyelamatan yang menyusul menggambarkan betapa beratnya medan yang dihadapi. Tim SAR gabungan dari Basarnas, Brimob, BPBD, PMI, dan relawan harus berjuang di tengah tumpukan lumpur, kayu, dan puing-puing rumah. Pencarian yang dilakukan dalam gelap gulita akibat padamnya listrik dan guyuran hujan yang tak henti, diperparah oleh ancaman banjir susulan dan longsor. Personel jatuh bangun mengangkat jenazah dari kubangan lumpur, sebuah tugas mulia yang dilakukan dengan penuh ketekunan. Setiap kantong mayat berwarna oranye yang dibuka diiringi tangis pilu keluarga yang kehilangan.
Kepala Jorong Toboh, Hasbi, mengungkapkan kebingungan masyarakat. Sepanjang ingatannya, galodo sehebat ini baru pertama kali melanda perkampungan mereka. Warga, yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani kayu kulit manis (cinnamomum verum), masih merenung dan mencari penyebab bencana, termasuk kemungkinan adanya gangguan ekosistem di perbukitan hulu. Namun, ada satu fenomena yang membuat mereka terhenyak: aliran banjir bandang yang dahsyat itu terbelah dua tepat saat mendekati sebuah masjid di kampung mereka, seolah ada kekuatan yang melindungi bangunan suci tersebut. Cerita ini menjadi sebentuk kearifan dan renungan di tengah duka.
Data pemerintah hingga awal Januari 2025 menyajikan gambaran betapa parahnya dampak bencana hidrometeorologi di Ranah Minang. Ratusan nyawa melayang, puluhan ribu mengungsi, dan ribuan rumah rusak atau hilang, dengan kerugian material yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Bencana ini menyebar di 16 kabupaten/kota, menjadi pengingat betapa rentannya wilayah ini.
Kisah Fendi adalah secercah cahaya di tengah kegelapan. Ia mewakili wajah ketangguhan masyarakat lokal, di mana pengalaman pahit di masa lalu justru mempertajam insting untuk bertindak dan menolong sesama saat bencana berulang. Perjalanannya dari penyintas likuefaksi di Palu menjadi pahlawan penyelamat di Agam menunjukkan bahwa spirit kemanusiaan dan keberanian bisa tumbuh bahkan dari luka terdalam. Ceritanya bukan sekadar tentang keselamatan fisik, tetapi tentang suara harapan yang terus berseru, bahkan ketika bumi sendiri bergemuruh.






