Pesan Buya Gusrizal Gazahar: “Jadilah Ulama yang Meringankan Ummat Bukan Membebani Mereka”

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.com, PEKANBARU – Suasana Musyawarah Daerah (MUSDA) VIII Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Riau mendadak hening. Ratusan pasang mata tertuju pada sosok ulama senior yang berdiri di mimbar Gedung BKOW Kota Pekanbaru. Suaranya tegas, nadanya serius, dan kata-katanya seperti tamparan keras yang membuat siapa pun yang mendengar tersentak.

Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, Ketua Bidang Fatwa Metodologi MUI Pusat, tidak datang untuk basa-basi. Ia datang membawa kritik pedas yang membuat internal organisasi ulama terbesar di Indonesia ini terdiam. Bukan sekadar nasihat rutin, melainkan cerminan realitas pahit yang selama ini mungkin berusaha ditutupi.

Read More

“Majelis ulama dibentuk dengan tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk menjadi wadah pemersatu,” ucap Buya Gusrizal membuka pembicaraannya di hari Senin, 23 Desember 2025. Namun, kalimat selanjutnya justru menohok.

Persatuan yang dimaksud, tegasnya, bukanlah sekadar berkumpul secara fisik atau kongko-kongko tanpa makna. “Kesatuan para ulama harus memiliki nilai yang berbeda, karena dia adalah ta’aluf baynan qulub – kesatuan antara hati. Bukan hanya kebersamaan secara fisik semata.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Peserta MUSDA yang hadir mulai saling pandang. Apakah selama ini persatuan yang mereka banggakan hanya sebatas formalitas? Apakah di balik kemegahan acara dan sambutan-sambutan resmi, hati para ulama justru bercerai-berai?

Yang membuat pernyataan Buya Gusrizal semakin menusuk adalah ketika ia mengungkap sumber kritiknya. Bukan dari sesama ulama senior, bukan dari tokoh-tokoh sepuh, melainkan dari generasi muda yang selama ini mengamati dengan saksama.

“Sehingga jangan sampai kita disentil oleh petuah anak muda. Bukan petuah orang tua ya, petuah anak muda,” ujar Buya Gusrizal dengan penekanan yang membuat ruangan semakin sunyi.

Apa yang dikatakan anak muda itu? Pertanyaan retoris ini dijawab sendiri oleh ulama kelahiran Sumatera Barat tersebut dengan kalimat yang membuat peserta MUSDA seperti disiram air dingin.

“Kalau ini terjadi dalam lembaga keumatan yang semestinya menjadi harapan untuk menyelesaikan persoalan umat, malah sebaliknya lembaga ini yang akan diselesaikan orang. Kemana umat akan datang mengadukan persoalannya, kalau Majelis Ulama sendiri tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri?”

Kritik telak ini bukan main-main. Ini adalah cermin bagi internal MUI yang tengah menghadapi berbagai dinamika organisasi. Bayangkan, lembaga yang seharusnya menjadi tempat berlabuh umat dalam mencari solusi masalah keagamaan, justru menjadi sumber masalah baru.

Di era digital seperti sekarang, generasi muda tidak lagi menerima begitu saja otoritas tanpa pertanyaan. Media sosial menjadi ruang publik baru di mana setiap gerak-gerik tokoh agama dan lembaga keislaman diamati dengan teliti. Ketidakkonsistenan, konflik internal, atau sikap yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan akan segera menjadi bahan kritik, bahkan sindiran tajam.

Inilah realitas yang dihadapi MUI. Generasi muda yang melek informasi dan kritis dalam berpikir menuntut integritas, konsistensi, dan keteladanan nyata—bukan sekadar retorika di atas mimbar.

Buya Gusrizal menekankan bahwa MUSDA yang berlangsung selama tiga hari, 22-24 Desember 2025, seharusnya menjadi ruang refleksi mendalam bagi seluruh pengurus MUI Riau.

“Karena itu, musyawarah daerah semestinya menjadi wahana atau masa atau momentum untuk bermuhasabah,” katanya.

Dalam konteks introspeksi diri tersebut, ulama yang juga dikenal dengan gelar adat Datuak Palimo Basa ini mengingatkan sebuah hadis Rasulullah SAW: “Kullu bani adam Lakhatthâ’” – setiap anak Adam pasti bersalah atau melakukan kesalahan.

“Tentu kita sadar dengan itu. Setiap anak Adam itu pasti tersalah,” akunya dengan rendah hati.

Namun, kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. Yang terpenting adalah kesediaan untuk memperbaiki diri dan kembali kepada jalan yang benar. “Khayrun nāsi man raghiba fit tawbati war rujū’i ilallāhi ta’ālā – sebaik-baik orangnya yang tersalah adalah orang yang mau rujuk, bertobat kepada Allah SWT,” lanjut Buya Gusrizal mengutip sabda Rasulullah.

Pesan ini bukan sekadar ceramah agama. Ini adalah ajakan untuk mengakui kelemahan, melepas ego, dan bersama-sama membangun kembali pondasi organisasi yang mulai rapuh.

Lalu, di tengah hiruk-pikuk kritik dan muhasabah, Buya Gusrizal menyampaikan satu pesan yang kemudian membuat seluruh ruangan terdiam lebih dalam lagi. Pesan yang seharusnya menjadi pegangan setiap ulama, namun seringkali terlupakan dalam kesibukan organisasi dan perselisihan internal.

“Tugas kita meringankan beban umat, bukan menambah beban mereka.”

Kalimat itu keluar dengan lantang, namun penuh makna yang menusuk. Sederhana, tapi menampar keras realitas yang terjadi.

Buya Gusrizal tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan dengan penekanan yang lebih tajam lagi: “Jadilah ulama yang meringankan umat, bukan membebani mereka.”

Dua kalimat ini seolah menjadi pukulan telak bagi mereka yang mungkin selama ini terjebak dalam ego organisasi, sibuk dengan konflik internal, atau malah memperumit masalah umat dengan fatwa-fatwa yang justru membingungkan.

Apa maksud “meringankan beban umat” itu?

Bukan sekadar memberikan ceramah indah di atas mimbar. Bukan sekadar mengeluarkan fatwa yang rumit dan sulit dipahami. Bukan pula sibuk dengan perselisihan internal yang membuat umat bingung harus percaya pada siapa.

Meringankan beban umat berarti hadir sebagai solusi, bukan masalah. Berarti memberikan jalan keluar yang mudah dipahami dan dijalankan, bukan aturan yang malah menambah beban hidup mereka. Berarti menjadi tempat berlabuh ketika umat kebingungan, bukan justru menambah kegalauan dengan pertikaian yang tidak perlu.

Di sinilah letak kritik paling tajam Buya Gusrizal. Ketika MUI yang seharusnya menjadi mercusuar bagi umat justru sibuk dengan masalah internal, ketika para ulama yang seharusnya menjadi penyelesai masalah justru menjadi sumber masalah baru—maka pada titik itulah fungsi ulama telah bergeser jauh dari esensinya.

“Kemana umat akan datang mengadukan persoalannya, kalau Majelis Ulama sendiri tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri?” pertanyaan yang diajukan Buya Gusrizal tadi kini semakin jelas maknanya.

Umat sudah lelah dengan beban hidup mereka. Mereka datang kepada ulama untuk mencari ketenangan, bukan tambahan masalah. Mereka mencari jalan keluar yang meringankan, bukan aturan yang semakin memberatkan.

Ketika harga-harga naik, mereka butuh ulama yang memahami kesulitan ekonomi mereka—bukan ceramah tinggi yang jauh dari realitas lapangan.

Ketika mereka bingung soal halal-haram di tengah perkembangan zaman, mereka butuh penjelasan yang jernih dan aplikatif—bukan perdebatan ulama yang saling menjatuhkan.

Ketika mereka menghadapi krisis spiritual di tengah gempuran modernitas, mereka butuh bimbingan yang menenangkan—bukan tekanan yang membuat mereka semakin jauh dari agama.

Sebaliknya, apa yang dimaksud dengan “menambah beban mereka”?

Ketika ulama sibuk berselisih pendapat hingga umat bingung harus ikut yang mana. Ketika fatwa dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kondisi riil masyarakat. Ketika lembaga keagamaan justru menjadi sumber perpecahan, bukan pemersatu. Ketika ego organisasi dan kepentingan kelompok lebih diutamakan daripada kemaslahatan umat.

Itulah yang disebut menambah beban umat. Dan itulah yang dikritik keras oleh Buya Gusrizal di hadapan seluruh peserta MUSDA VIII.

Pesan ini bukan hanya untuk MUI Riau. Ini adalah pesan universal untuk seluruh ulama di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Bahwa hakikat menjadi ulama adalah melayani, bukan dilayani. Memberikan solusi, bukan menambah masalah. Meringankan, bukan memberatkan.

MUSDA VIII MUI Provinsi Riau yang digelar di Gedung BKOW ini bukan sekadar agenda rutin lima tahunan. Forum ini menjadi momentum strategis dalam mengevaluasi kepengurusan periode sebelumnya, merumuskan program kerja ke depan, serta memperkuat peran ulama dalam menjawab berbagai tantangan umat dan kebangsaan.

Riau, sebagai salah satu provinsi dengan basis Muslim yang kuat, memiliki dinamika keagamaan yang kompleks. Dari isu ekonomi syariah, persoalan sosial kemasyarakatan, hingga tantangan modernitas yang terus menggerus nilai-nilai keislaman. Semua membutuhkan panduan dan fatwa yang jelas dari para ulama.

Kehadiran berbagai elemen MUI dari tingkat kabupaten/kota se-Riau menunjukkan antusiasme tinggi dalam merespons seruan muhasabah ini. Mereka sadar, organisasi sebesar MUI tidak boleh terjebak dalam konflik internal yang kontraproduktif.

Dan di tengah kompleksitas tantangan itu, pesan Buya Gusrizal menjadi sangat relevan: bagaimana MUI bisa meringankan beban umat jika lembaga ini sendiri masih dipenuhi masalah?

Pesan Buya Gusrizal di MUSDA VIII ini diharapkan menjadi titik balik bagi MUI Riau khususnya, dan MUI di seluruh Indonesia pada umumnya. Lembaga yang didirikan pada 26 Juli 1975 ini memiliki sejarah panjang dalam memberikan panduan keagamaan bagi umat Islam Indonesia.

Dari fatwa halal-haram produk, panduan dalam masalah ekonomi syariah, hingga sikap kebangsaan, MUI selalu menjadi rujukan. Namun, relevansi dan kredibilitas lembaga ini sangat bergantung pada kemampuannya menjaga kesatuan internal dan fokus pada misi utama: melayani umat dengan meringankan beban mereka.

MUSDA VIII yang berlangsung hingga Rabu, 24 Desember 2025 ini diharapkan mampu menghasilkan rumusan konkret untuk memperkuat MUI Riau. Bukan hanya dalam aspek kelembagaan, tetapi juga dalam membangun kesatuan hati (ta’aluf baynan qulub) yang sejati di antara para ulama.

Yang terpenting, semua pengurus MUI harus kembali mengingat pesan fundamental yang disampaikan Buya Gusrizal: tugas kita adalah meringankan beban umat, bukan menambah beban mereka.

Karena pada akhirnya, umat membutuhkan pemandu yang kokoh, bukan lembaga yang justru membutuhkan penyelesaian masalah. Umat membutuhkan ulama yang meringankan beban hidup mereka, bukan ulama yang justru menambah keruwetan dengan persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Dan pesan Buya Gusrizal adalah pengingat tepat waktu untuk kembali ke fitrah awal: menjadi pemersatu, menjadi solusi, dan menjadi ulama yang meringankan—bukan membebani.

Kritik pedas dari mimbar MUSDA VIII ini mungkin terasa pahit. Namun seperti obat, justru kepahitan itulah yang dibutuhkan untuk menyembuhkan. Semoga pesan ini tidak hanya menjadi wacana, tapi benar-benar diimplementasikan dalam setiap langkah dan kebijakan MUI ke depan.

Related posts