Anak Drop Out Akibat Hijab di Yogyakarta, KPAI Soroti Prinsip Inklusi Pendidikan

  • Whatsapp

MINANGKABAUNEWS.COM, JAKARTA — Terkait Anak Drop Out Akibat Hijab di Yogyakart, Komisioner KPAI Jasra Putra angkat bicara.

Dirinya menyoroti Prinsip Inklusi Pendidikan di Indonesia. Lanjutnya, Peristiwa anak drop out akibat menolak kewajiban berhijab di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta menjadi tantangan penegakan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional kita yang memiliki prinsip inklusi non diskriminasi.

Read More

Akibat perjuangan anak dalam beralasan tidak berhijab ini, berakhir dengan mengurung diri di kamar. Bukannya penyelesaian, tetapi sekolah sedang melabeli siswa atau stigma berkepanjangan. Yang dapat menghilangkan satu generasi calon pemimpin bangsa. Ini persoalan tidak sederhana, harus disikapi serius sistem pendidikan kita. “Saya kira sangat penting pemanggilan dinas pendidikan yang abai terhadap peristiwa peristiwa seperti ini, kita perlu shock therapy buat birokrasi kita agar sadar tugasnya,” tegasnya.

Menerima laporan tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia daerah atau KPAID Yogyakarta langsung merespon dengan mendatangi berbagai pihak, mulai dari keluarga siswa, Ombusman Pepublik Indonesia perwakilan Yogyakarta, Disdikpora Yoyakarta dan sekolah. “Kami juga damping kondisi psikologis siswa dan keluarganya, pasca anaknya di drop out karena menolak berhijab,” tandas Jasra

“Saya kira semua pihak punya kewajiban menegakkan Undang Undang Perlindungan Anak dan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang punya kepentingan dalam keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan untuk semua, tanpa kecuali. Apalagi ini anak, yang hak hak nya dijamin negara. Sehingga mengedepankan kepentingan terbaik anak menjadi hal utama,” kata Jasra Putra.

“Saya kira harus merunut mulai dari masuknya tahun ajaran baru dan situasi anak pasca belajar 2,5 tahun hanya dirumah pasca pandemi Covid 19, menjadi pijakan kita melihat kondisi ini. Bagaimana situasi guru, siswa dan orang tua siswa yang seringkali berhadapan dengan soal daya tahan, dalam menerima segala kondisi di era pandemi,” imbuh Komisioner KPAI asal Pasaman Barat ini.

KPAI melihat situasi yang ‘tidak biasa’ dengan sekolah kita. Dan guru guru harus memimpin dalam pemulihannya, bukan justru menjadi bagian permasalahan. Seperti amanah Mendikbudristek tentang 3 dosa besar pendidikan, yaitu perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi. Yang terus terjadi. Harus kembali di baca sekolah, agar keinginan menjadi Sekolah Ramah Anak dapat terwujud.

“Saya kira Kemendikbudristek terus bekerja soal ini, seperti dengan program Merdeka Belajar, pentingnya sekolah memiliki mekanisme rujukan terbuka bila terjadi kekerasan psikis melalui Permendikbud 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan. Kemudian Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 dan ditegaskan dalam Permendiknas no. 70 tahun 2009 pasal 2, disebutkan bahwa pemerintah mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Agar ketika terjadi kekerasan psikis terhadap siswa, mereka bisa melapor dengan aman dan nyaman, sehingga sekolah tidak langsung memutuskan anak di keluarkan,” tutur Jasra.

KPAI sangat menyayangkan bahwa dunia pendidikan kita masih suram ketika menyelesaikan persoalan seperti ini, kemudian sangat tidak peka terhadap suara dan pendapat anak, yang merupakan hak yang harusnya dihormati, didengar dan dipertimbangkan pendapatnya.

KPAI akan segera memanggil Kepala Dinas Pendidikan DIY dan Kepala Sekolah terkait pamaksaan memakai jilbab di sekolah SMAN tersebut. Kita sangat menyayangkan dampak buruk terhadap psikis anak, sehingga tanpa penyelesaian, tiba tiba anak telah pindah sekolah. Cara cara seperti ini tidak boleh terus terjadi di dunia pendidikan kita.

Dalam UU Perlindungan Anak sejatinya guru menjadi pelindung anak dari kekerasan fisik dan psikis, bukan mengeluarkan dari sekolah. Namun dalam peristiwa ini, guru BK diduga melanggar UU tersebut. Apa yang terjadi dengan cara berfikir guru BK kita? Jika terbukti guru tersebut melakukan pelanggaran, sangat perlu dilakukan tindakan tegas, sehingga tidak pengulangan ke depannya. Karena seorang guru, apalagi guru BK, sehuarusnya memiliki kompetensi dan profesionalitas dalam mendampingi anak anak yang perlu curhat atas kondisi tekanan psikologisnya, bukan dengan mengeluarkan anak. Tentu kita terbayang, wajah menyeramkan BK di depan murid muridnya, tidak hanya pada persoalan ini saja, juga persoalan lainnya. Bahkan bisa mematahkan secara baik, minat dan bakat anak yang harusnya bisa dikembangkan. Apalagi biasanya sekolah SMAN 1 adalah anak anak pilihan, yang tentu dianggap sekolah memiliki potensi besar dalam diri siswa. Apakah karena hanya persoalan hijab, menutup semua potensi anak? Apakah tidak ad acara lain dalam mengenalkan hijab?

“Kita melihat hal hal sangat kontraproduktif dari peristiwa ini, ketika anak sangat jauh dari sekolah setelah 2,5 tahun pandemi Covid 19, kekhawatiran angka putus sekolah, yang harusnya di isi anak pulih dan kembali mempunyai keinginan tinggi bersekolah. Saya kira semua sekolah sedang berjuang untuk melakukan proses pembelajaran PTM 100% secara baik untuk mengejar lost learning dan menghindari lost generation, Yang juga tidak mudah, karena sewaktu waktu pandemi Covid 19 bisa terjadi kembali. Padahal kita tahu keinginan anak yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo saat Hari Anak Nasional saat pandemi Covid 19 adalah segera dibukanya kembali sekolah, tentu saja peristiwa ini jadi tren buruk untuk siswa dan orang tuanya,” tandas Jasra.

Bagi KPAI, kalau penyelesaiannya dengan mengeluarkan siswa. maka upaya sadar mendidik, dikalahkan dengan peristwa ini, yang justru mengajak anak menghindari pusat sumber pendidikan.

Bahwa keresahan cara sekolah mendidik anak, yang dirasakan sejak lama. Seperti diamini dengan peristiwa ini. Akhirnya anak membentuk pendidikan dirinya sendiri. Salah satunya dari upaya terdidik anak, yaitu dengan ia memilih keluar sekolah. Saya kira ini seperti menjawab, banyaknya anak yang putus sekolah karena berbagai sebab. Tentu ini pilihan satir generasi pendidikan kita atas fenomena di keluarkan karena soal hijab.

Kemudian pemanggilan guru BK, lebih terkesan anak berkasus, menjadi stigma. Padahal kalau mau di seriusi. Ruang BK adalah tempat terbaik dalam UU Sisdiknas, yaitu upaya sadar, sesadar sadarnya, anak butuh ruang jiwa sebelum masuk dunia belajar, jiwa yang sadar memilih menjadi generasi pembelajar. Yang jika di dalami benar benar oleh guru BK, justru sadar secara jiwa inilah yang lebih mudah diterima anak dan menjadi cara mudah berkomunikasi dengan anak.

Tapi dengan hadirnya peristiwa ini, sosok BK hadir sebagai tekanan jiwa. Justru harusnya BK adalah tempat curhat yang aman, bebas dari tekanan, bukan sebaliknya. Bahkan untuk meyakinkan ruang BK aman dan nyaman, guru bisa melengkapinya dengan CCTV dan bisa terawasi dari luar, tanpa mengurangi privasi anak yang melapor.

Sehingga yang jadi pertanyaan, siapakah yang menciptakan generasi serba salah, era pandemi ini, kita atau anak? Meski KPAI yakin, masih banyak guru BK yang kompeten dan profesional. Tetapi sekali lagi sekolah masih membutuhkan SDM yang kuat pengalaman soal guru BK ini. Kalau perlu guru BK lulusan S3 pendidikan kejiwaan, karena terlalu penting investasi bangsa ini.

Tentu pemanggilan Dinas Pendidikan Yogyakarta menjadi upaya terbaik dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang ramah anak. Yang didalamnya mengandung unsur luas, tidak hanya penyelenggaraan pendidikan. Namun sebagaimana amanah Undang Undang Perlindungan Anak, berbagai pihak yang berani mengambil peran orang tua dalam mengambil anak dengan alasan apapun, diamanahkan Undang Undang menjadi pengganti peran orang tua. Mereka harus mendapatkan hal yang sama seperti di rumah.

Dalam pendidikan, kita tidak hanya sedang bicara upaya pembelajaran, namun di dalamnya guru harus sadar, ada unsur pengasuhan. Jadi bukan hanya menyampaikan pelajaran, tidak terputus disitu. Karena bicara pendidikan bicara obyek penerima pembelajaran, yang setiap pribadinya memiliki jiwa masing masing, kelebihan dan keterbatasan. Dimana keberhasilan pengajaran juga menuntut rasa kehadiran sang guru di setiap siswanya, yang mensyaratkan paham tumbuh kembang anak pada usianya, adanya unsur parenting skill, kedekatan secara jiwa, sehingga anak tidak berwujud seperti deret angka absen dan nilai nilai belajar yang harus dipenuhi para guru sebagai laporan keberhasilan pembelajaran. Artinya guru juga butuh ruang meningkatkan kapasitas diluar kewajibannya mengajar.

KPAI memperhatikan, justru di masa anak kembali ke sekolah pasca 2,5 tahun pandemic Covid dan penerimaan siswa di tahun ajaran baru dengan masa MPLS, terkesan tidak dimanfaatkan sekolah dengan baik. Justru ada laporan yang masuk ke KPAI, ajang MPLS menjadi tekanan psikis murid, kekerasan dan situasi awal sekolah yang tidak menyenangkan bagi siswanya. Bahkan KPAI mendapat laporan pascca MPLS anak tidak mau masuk sekolah. Ini akibat sekolah tidak menyelenggarkan assessment awal, atas situasi anak pasca pandemi, termasuk orang tua, keluarga dan lingkungan menuju sekolah. Seharusnya kalau ada assessment awal, permasalahan hijab harusnya tidak terjadi.

Apa yang ingin dicapai guru, apa yang ingin dicapai manajamen sekolah, apa yang ingin dicapai orang tua murid dan apa yang ingin dicapai murid, harusnya tersampaikan dalam assessment ini, sehingga semua kondisi dapat terkomunikasikan dengan baik.

Saya kira masalah hijab ini, karena sekolah tidak menangkap pesan dari kondisi setiap murid yang mendaftar sekolah, atau kondisi anak setelah 2,5 tahun belajar dirumah. Bahwa ada kesulitan kesulitan anak dalam mengejar ketertinggalan, tidak hanya soal hijab. Kita harus menjadi lebih sensitive agar dapat menyelematkan jiwa di era pandemi.

Saya kira jelang hari kemerdekaan ini, kita juga harus mengingat pesan Mas Menteri Nadiem Makarim soal intoleransi di lembaga pendidikan yang menjadi bagian dari 3 dosa besar pendidikan.

Bicara intoleransi di lembaga pendidikan, menjadi pekerjaan rumah yang luar biasa, karena kenyataannya peristiwanya terus terjadi, dan kita tahu data kecil ini, sebenarnya selalu diyakini sebagai fenomena data gunung es, yang harus di jawab. Setelah hilangnya atau absennya penataran P4, yang di alergikan sejak Orde Baru tumbang tahun 1998. Akibat redusir pemaknaannya. Tetapi belakangan disadari pertarungan ideologi telah menjauhkan anak anak pada rasa tanggung jawab kepada negaranya, dalam pantauan KPAI seringnya generasi pembelajar di libatkan aksi aksi kekerasan, terutama pasca demonstrasi.

Seringkali istilah phobia menjebak dunia pendidikan kita. Karena semua agama setuju, untuk memuliakan, menghormati perbedaan dan lebih menyepakati pertemuan nilai nilai universal dalam manusia dan kemanusiaan. Jadi bukan phobia beragama ya, tapi tegas dipersoalan seperti ini ada oknum yang merasa beragama tapi kemudian menolak manusia dan kemanusiaan.

Jadi oknum seperti ini yang harus di tolak bersama sama di lembaga pendidikan, jangan sampai agama yang mulia ini dijadikan tameng kekerasan psikis. Karena situasi generasi pembelajar kita sangat beragam.

Bahwa ancaman besar pasca peristiwa ini adalah lembaga pendidikan kita sedang mempersiapkan generasi yang kehilangan komitmen jiwa kebangsaannya, akibat absennya selama 24 tahun Penataran P4. Yang teredusir oleh oknum yang menyebabkan Indonesia menjadi pertarungan ideologi. Pancasila itu adalah filosofis kebangsaan, yang didalam filosofis itu mensyaratkan ada jiwa yang sehat. Makanya Pancasila juga diartikan kejiwaan yang sehat untuk generasi bangsanya.

Makanya sejak dulu Pancasila dikenalkan sejak dini, karena untuk tumbuh kembang yang baik dalam alam Indonesia, guru harus benar benar sadar untuk menghadirkan jiwa Pancasila. Dan bicara ideologi adalah bicara penanaman nilai yang mempersyaratkan sejak dini dilakukan. Karena kita meyakini butir butir yang sangat mulia dari setiap sila tidak bertentangan dengan kebutuhan tumbuh kembang anak di Indonesia. Dan sekarang masalahnya lembaga pendidikan kita sudah absen 24 tahun soal ini.

Di sisi lain problem pendidikan, seringkali menghadapi kegagapan dalam melihat problematika anak. Dan ketika itu, cara komunikasi terbaik adalah dengan mengenal jiwa anak, dan anak punya ruang jiwa di sekolah yang rindukan anak, membawa ketenangan.

Bahwa kita berbangsa karena punya imajinasi bersama sebagai Indonesia. Bayangkan bila dunia pendidikan justru mengalami jiwa disintegrasi, kemunduran dalam cara mengenalkan keberagaman, agama dan negaranya, tentu kita sangat khawatir, karena dunia pendidikan kita, akan terus dibenturkan dengan istilah phobia.

Untuk itu kalau persoalan drop out karena hijab ini tidak mau berulang, jangan ragu menguatkan pendidikan kejiwaan guru guru melalui nilai nilai mulia Pancasila di lembaga pendidikan kita, imajinasi berbangsa kita harus kembali dirawat di lembaga pendidikan, begitupun anak anak.Agar Pancasila menjadi media pembuka pendidikan jiwa guru dan anak anak di sekolah, agar dunia pendidikan kita tidak membahayakan dirinya sendiri dan berada dalam jurang jiwa jiwa maut. Kita melihat soal disintegrasi ini mengerogoti pejabat kita yang ditangkap KPK, guru guru kita yang memiskinkan keberagaman menjadi menyeragamkan

Related posts