MINANGKABAUNEWS.com, RELIGI — Muhammad lahir ketika sang ayah, Abdullah, telah tiada. Putra Abdul Muthallib itu meninggal dalam perjalanan dagang ke Suriah. Ia wafat meninggalkan sang istri, Aminah, yang sedang mengandung.
Tak lama setelah wafatnya Abdullah, Aminah melahirkan bayi laki-laki. Mendengar kabar itu, Abdul Muthallib mengungkapkan kegembiraannya dan segera membawa cucunya ke Ka’bah. Ia lalu memberi bayi tersebut nama: Muhammad.
Ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai tahun kelahiran Muhammad. Ada yang berpendapat, sosok yang kelak menjadi Nabi dan Rasul terakhir itu lahir pada Tahun Gajah (570 Masehi). Pendapat lain mengatakan sebelum dan/atau sesudah peristiwa tersebut.
Pun demikian, muncul perbedaan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Ada yang menyebut beliau lahir pada Rabiul Awal, Muharam, Rajab, atau Ramadhan. Akan tetapi, mayoritas merujuk ke pendapat ibn Ishaq yang menyebut bahwa Muhammad lahir pada dua belas Rabiul Awal.
Menyusui Muhammad
Ketika Abdullah tengah melangsungkan pernikahan dengan Aminah, Abdul Muthallib juga mempersunting Halah. Dari perkawinan tersebut lahirlah Hamzah, yang seusia dengan Muhammad. Keduanya, Hamzah dan Muhammad, adalah saudara sepersusuan dari Suwaibah, budak perempuan Abu Lahab.
Merupakan adat bangsawan Arab menyusukan anaknya kepada perempuan dari kabilah pedalaman. Salah satu kabilah yang terkenal adalah Banu Sa’d. Mereka sering datang ke Makkah untuk mencari bayi susuan. Mereka berharap akan mendapat upah dari hasil menyusui tersebut.
Oleh karenanya, mereka menghindari mengambil anak yatim, termasuk Muhammad. Halimah binti Abi Zu’aib awalnya juga menolak membawa cucu Abdul Muthallib itu. Akan tetap, hingga rombongannya hendak kembali ke kampung halaman, ia tidak kunjung mendapat bayi susuan. Lalu kepada suaminya, Al-Haris bin Abdul Uzza, ia berkata, “tidak senang aku pulang dengan teman-temanku tanpa membawa bayi”. Akhirnya, dibawalah Muhammad.
Setelah membawa Muhammad bin Abdullah, Halimah mengaku mendapat berkah; kambing-kambingnya gemuk, air susunya juga bertambah.
Setelah dua tahun, Muhammad dikembalikan kepada Aminah. Akan tetapi, pada waktu itu terjadi wabah di Makkah, sehingga ia dititipkan kembali ke Halimah. Pada momen pengasuhan kedua itulah Muhammad mengalami peristiwa yang menakjubkan, yang membuat Halimah dan suaminya ketakutan.
Diceritakan bahwa ketika Muhammad sedang bermain dengan teman sebayanya, datang dua orang berbaju putih (malaikat). Oleh keduanya, Muhammad kecil dibaringkan, dadahnya dibedah, lalu hatinya dibersihkan.
Muhammad tinggal dengan keluarga Halimah sampai usia lima tahun. Selama masa itu ia hidup di lingkungan yang bersih dan belajar bahasa Arab. “Aku yang paling fasil berbahasa Arab di antara kamu sekalian. Aku dari Quraiys dan diasuh di tengah-tengah keluarga Sa’ad bin Bakr,” katanya.
Kehilangan Ibu dan Kakek
Sekembalinya ke Makkah, Muhammad diasuh oleh ibu dan kakeknya. Beliau diasuh dengan penuh kasih sayang. Suatu ketika, Aminah membawa putra semata wayangnya ke Madinah untuk diperkenalkan ke saudara kakeknya dari pihak keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu, Aminah membawa serta Umm Aiman.
Setalah cukup tinggal di Madinah, ketiganya memutuskan kembali ke Makkah. Akan tetapi, di tengah perjalanan, tepatnya di Abwa, Aminah jatuh sakit lalu meninggal. Di tengah kesedihannya, Muhammad dibawa oleh Umm Aiman pulang. Peristiwa pilu ini terdokumentasikan di dalam al-Quran.
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَـَٔاوَىٰ
Artinya, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (Q.S. adh-Dhuha: 6).
Sepeninggal ibunya, Muhammad diasuh oleh Abdul Muthallib. Tetapi ketika Muhammad menginjak usia delapan tahun, sang kakek menyusul wafat. Beliau lalu berpindah asuhan. Kini, giliran sang paman, Abu Thalib yang mengasuhnya. Di bawah asuhan pamannya itulah Muhammad dibawa serta berdagang ke Syam.
Waktu itu usianya baru dua belas tahun. Tetapi kecerdasan ketajaman otaknya tak ada yang meragukan. Di perjalanan itulah rahib Bahira melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad.